Mohon tunggu...
Okky Fajar Tri Maryana
Okky Fajar Tri Maryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pendidik di Program Studi Fisika Institut Teknologi Sumatera

Pendidik di Program Studi Fisika Institut Teknologi Sumatera

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendidik Anak Hadapi "Bullying"

27 Agustus 2016   09:30 Diperbarui: 27 Agustus 2016   20:25 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa awal-awal menjadi seorang pendidik, saya belajar suatu hal penting dari seorang anak. Bahkan, ia terus menginspirasi saya hingga sekarang. Kita sebut saja anak ini bernama Midi.

Semenjak kedatangannya ke sekolah kami, Midi sudah menjadi buah bibir. Kabar yang diterima membuat kami terheran-heran. Kok ada yah anak yang tak mau berbicara sama ortunya hingga berbulan-bulan lamanya, menutup diri di kamarnya, tak pernah olahraga, tak terurus tubuh gempalnya hingga kuku kakinya menjuntai panjang tak pernah dipotong. Midi memutuskan sudah tidak mau bersekolah lagi. Ia juga tidak mau berinteraksi dengan teman sebayanya. Dan, komputerlah teman aktivitas kesehariannya.

Ilustrasi siswi yang sedih karena hanya menjadi penonton tindak Bullying. Sumber foto : Dok. Pribadi 2016
Ilustrasi siswi yang sedih karena hanya menjadi penonton tindak Bullying. Sumber foto : Dok. Pribadi 2016
Ketika Midi akhirnya mau bersekolah kembali, orang tua dan keluarganya senangnya bukan main. Keajaiban katanya. Maka, tibalah ia di sekolah kami kala itu.

Mengapa Midi bisa menjadi seperti ini? Inilah pelajaran yang saya peroleh : Midi adalah korban bullying atau penindasan di sekolahnya dahulu. Midi ditindas oleh kawan-kawannya. Perlu diketahui bahwa Midi adalah seorang anak yang masuk skala kategori jenius dalam uji psikotesnya. Hingga suatu waktu terus merosot tajam kemampuan akademis dan mentalnya, hingga kemudian memutuskan untuk tidak mau kembali ke sekolah. 

Mari kita cermati bersama fenomena bullying ini lebih jauh.

Sebuah studi yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 lalu melaporkan fakta mencengangkan terkait bullying di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami bullying di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni sebesar 70%.

Selain itu, (kita masih harus mengelus dada) data dari Badan PBB untuk Anak (UNICEF) melaporkan studinya bahwa 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami bullying. Dari data ini menunjukkan bullying di Indonesia lebih sering dialami oleh anak perempuan.

Bullying atau penindasan adalah bentuk dari perilaku agresif dengan kekuatan dominan pada perilaku yang dilakukan dengan tujuan mengganggu anak lain atau korban yang lebih lemah darinya. Victorian Departement of Education and Early Childhood Development mendefinisikan bullying  terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psikologis, mengancam properti, reputasi atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang dan terus-menerus.

Pada dasarnya bullying melibatkan tiga pihak: penindas, korban, dan penonton. Penindas dan korban memiliki posisi yang amat jelas; yang satu merasa ‘senang dan puas’, yang lainnya merasa sedih dan terhina. Nah, yang galau itu para penonton. Dan nyatanya sebagian besar anak atau remaja adalah penonton. Mungkin termasuk anak-anak kita.

Ilustrasi Bullying yang terjadi di sekolah. Sumber foto : Dok. Pribadi 2016
Ilustrasi Bullying yang terjadi di sekolah. Sumber foto : Dok. Pribadi 2016
Faktanya adalah, para penonton inilah yang juga memberikan kontribusi besar terhadap eksistensi bullying itu sendiri. Ketika anak-anak melihat kawannya ditindas, kebanyakan dari mereka ingin membantu melawan, tapi karena takut memilih untuk diam. Maka jangan aneh bila tiba-tiba anak Anda pulang sekolah kemudian ia tampak murung, tidak mau berbicara dengan Anda atau bahkan menutup diri di kamar, itu mungkin bukan karena ia ditindas tapi sesungguhnya ia sedih karena melihat sahabatnya telah ditindas di depan matanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia malu dan kecewa terhadap dirinya sendiri.

Sebagai orang tua dan pendidik, rasanya tidak bijak bila kita ikut mengecam ketakutan dan sikap diam mereka. Karena sesungguhnya ketakutan dan sikap diam tersebut adalah normal. Jadi, sebelum mereka kita didik menjadi pemberani untuk menentang segala penindasan, ajaklah mereka untuk tidak sekedar menjadi penonton. Banyak hal yang dapat mereka lakukan apabila mereka kembali melihat berbagai bentuk penindasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun