Mohon tunggu...
Okky Oktora
Okky Oktora Mohon Tunggu... wiraswasta -

Terlahir dari keluarga yang kurang harmonis, mendidik hidup menjadi dewasa sebelum waktunya, tidak ada kasih sayang dan hidup tidak boleh manja. secara tidak langsung jiwa kecil merekam semua alur jalan hidup yang dialami selama ini, dan mencoba menuangkannya dalam bait-bait tulisan... tinta merah kehidupan...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Janji Cinta Bapak

15 Agustus 2015   15:28 Diperbarui: 15 Agustus 2015   15:28 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

“Lita, kok pagi-pagi sudah melamun?” Aku tersentak sesaat dari diamku saat terdengar suara Eyang Puteri menyadarkanku yang terlihat sedang melamun, “e..e..engga kok Eyang, Neng cuma lagi merhatiin pohon-pohon diluar.” Jawabku pada Eyang Puteriterbata sebagai alasan, “sudah sana mandi dulu, nanti airnya keburu dingin lagi.”Kali ini Eyang Puteri berkata sambil menyodorkan handuk padaku, dan tanpa menunggu Eyang Puteri berkata lebih banyak lagi akupun langsung mengambil handuk yang Eyang Puteri bawakan dan segera menuju kamar mandi.

Harus aku akui aku termasuk seorang yang beruntung, hidup diantara orang-orang yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang, bagaimana tidak, hampir setiap pagi Eyang Puteri menyiapkan air panas untuk kupakai mandi, sebenarnya aku juga tidak enak harus merepotkan Eyang Puteri begini, sudah aku katakan pada Eyang agar tidak usah merebuskan air panas tapi tetap saja Eyang lakukan, sepertinya dimata Eyang Puteri aku adalah tetap gadis kecilnya yang walaupun sekarang usiaku sudah hampir 20 tahun diperlakukan seperti itu, Eyang Puteri tidak pernah terlihat marah, dia selalu tersenyum sehingga memberiku rasa nyaman didekatnya, saat aku berkata Eyang tidak usah repot-repot, Eyang selalu menjawab “tidak apa-apa, Eyang kalo kurang gerak suka engga enak badan.”, itulah hebatnya Eyang Puteri diusianya yang hampir 83 tahun tetapi masih terlihat sangat segar dan bersemangat, aku sendiri merasa malu yang masih muda tetapi malas-malasan.

Dan tentu yang paling aku banggakan adalah Bapak, Bapak adalah sosok idolaku, sosok panutan dan sosok pelindung dalam hidupku, rasanya terlalu cepat Tuhan memanggil Bapak, 2 hari yang lalu adalah tepat 100 hari dimana Bapak meninggalkanku dengan banyak kenangan manis dan nasehat yang baik yang tidak akan pernah aku lupakan, dan sebenarnya tadi saat Eyang Puteri menegurku, aku tidak sedang melamun, aku hanya sedang merindukan Bapak, yah merindukan sosoknya yang setiap pagi selalu paling awal bangun, lalu ia membangunkanku dengan begitu sabarnya saat aku malas untuk membuka mata dan malas untuk bangun sholat subuh, Bapak tidak pernah memarahi saat manja dan malasku datang, jika aku sedang begitu Bapak akan segera memelukku dan berbisik, “Neng anak Bapak yang cantik, pintar juga solehah, Neng engga mau kan lihat Bapak nanti masuk neraka, jangan malas sholat ya, ayo Bapak tunggu ditempat wudhu biar nanti sholat subuhnya berjamaah.” Kalau sudah begitu mana bisa aku tidak tergerak, cara mendidik yang Bapak lakukan padaku berhasil, tanpa ada kekerasan, aku sadar tidak bisa selamanya larut didalam kesedihan, kesedihan hanya akan membuat Bapak tidak nyaman disisi Tuhan, aku terima ini semua takdir yang sudah digariskan Tuhan yang harus kujalankan, terimakasih Tuhan telah Engkau kirimkan seorang yang luar biasa dalam hidupku.

***

Hanya satu hal yang tidak pernah aku dapatkan selama hidupku, itu adalah kasih dan sayang dari seorang Ibu, jangankan mendapatkan kasih sayangnya, untuk mengenal dan melihat wajahnyapun aku tidak pernah tau, setelah sekian lama aku baru terfikirkan kembali, siapa sebenarnya sosok Ibuku yah perempuan yang melahirkanku, karena selama ini yang aku tahu hanya ada dua orang yang begitu perhatian kepadaku yaitu Bapak dan Eyang Puteri, lalu dimanakah Ibu? Masih hidupkah ia, apakah tidak rindu padaku sebagai anaknya? Pertanyaan-pertanyaan macam itu yang selalu mengganggu dikepalaku, sebenarnya aku ingin memiliki keluarga yang utuh seperti teman-temanku, saat kelulusan sekolah dapat dirayakan bersama dengan kedua orangtua, saat sedih dapat bercerita padanya, tetapi aku tidak, lama sekali kusimpan pertanyaan seperti ini, dulu saat masih duduk disekolah dasar aku pernah menangis meminta pada Bapak agar aku diantar sekolah oleh Ibu, dan aku masih ingat saat itu Bapak terlihat terdiam lalu tidak berapa lama Eyang Puteri datang memelukku dan berkata padaku dengan lembut, “Neng ayo berangkatnya diantar sama Eyang dulu, nanti kalo Neng mau ketemu Ibu, Bapak pasti antar kalo Neng sudah libur sekolah, jangan nangis lagi, kasian Bapak nanti engga bisa tenang kerjanya kalo lihat Neng masih nangis, kalo Bapak engga bisa kerja nanti Neng engga bisa sekolah, engga bisa jajan juga engga bisa liburan buat ketemu Ibu, nah sekarang mau yah sekolah diantar Eyang Puteri.” Dan setelah kejadian itu rasanya aku benar-benar sudah tidak peduli lagi dimana sosok Ibu, karena bagiku Bapak sudah mewakili peran Ibu dalam segala hal, dengan lengan kekarnya Bapak selalu yang terdepan menyiapkan sarapan pagi untukku, mencuci dan menyetrikakan seragam sekolahku, mengantar dan menjemputku sekolah, menyelimuti saat dingin diwaktu aku tidur, sesibuk apapun Bapak, selalu ada waktu untukku, pekerjaan Bapak hanyalah seorang mekanik bengkel, Bapak sengaja membuka bengkel tidak jauh dari rumah, kata Bapak agar lebih mudah dan cepat pulang kerumah, akupun sering menghabiskan waktu menemani Bapak dibengkel, bermain-main kunci, obeng dan tang bahkan menumpahkan oli tidak jarang aku lakukan, jika sudah begitu aku hanya dapat menunduk dan berkata maaf dengan pelan pada Bapak, Bapak tidak marah padaku dia dengan sigap menjauhkanku dari genangan oli yang aku tumpahkan, lalu dia sendiri yang membersihkan tumpahan sampai kering, bengkel tempat Bapak bekerja tidaklah besar tetapi selalu ramai pelanggan, ada tiga mekanik lain yang membantu pekerjaan Bapak, aku mengenal baik ketiganya, Mang Aep, Mang Usin dan Mang Ahdan semuanya baik padaku bahkan aku sering bermain dengan Asni puteri dari Mang Aep yang kebetulan seumuran denganku, kami semua sudah seperti keluarga, mereka menghormati Bapak dan keluargaku, Bapak juga memperlakukan mereka dengan sangat baik dan sopan, benar-benar pembelajaran berharga dalam hidup yang aku dapatkan, akan tetapi rasa penasaran akan sosok Ibu tetap menguasai isi fikiranku.

Sudah dua minggu kuhabiskan waktu libur semester di Bandung, libur kali ini terasa begitu hampa tanpa Bapak, tahun ini jadi tahun terakhirku untuk menyelesaikan pendidikanku di Bogor, kulangkahkan kaki menapaki kebun yang sengaja Bapak sediakan untukku agar aku dapat mengimplementasikan pengetahuan yang aku dapatkan selama ini secara langsung dengan cara menyediakan medianya, begitulah Bapak, selalu memberi perhatian lebih tanpa aku minta, dia begitu detil memperhatikan apa yang aku perlukan, dikebun yang tidak seberapa luas ini, aku dengan leluasa mencocokkan apa yang telah dosen pembimbing ajarkan dalam kenyataan, Bapak sangat berharap aku menjadi pelopor metode pertanian modern, tanpa sungkan Bapak mencangkulkan tanah yang nantinya akan aku taburi benih, dan benih itu kini telah tumbuh dan dapat dinikmati hasilnya, ada beberapa jenis tanaman yang kutanam disini dari mulai kacang-kacangan, sawo, pisang, cabe, bahkan sebagain lainnya aku tanami padi, dengan begini analisaku lebih akurat dan hasil dari tugas kuliahku dapat dikatakan selalu memuaskan, akan aku buktikan pada Bapak, aku dapat menjadi apa yang dia harapkan.

Tinggal dua minggu lagi waktuku tersisa sebelum aku kembali dengan segala kesibukanku dengan tugas akhir dikampus, aku ingin menikmati benar liburan kali ini, setelah kepergian Bapak, dirumah ini aku hanya tinggal dengan Eyang Puteri, makan berdua, tidur berdua dan sholat berjamaahpun kini hanya berdua, dan seperti malam kemarin malam kali ini aku dekatkan letak tidurku disamping Eyang Puteri, terdengar lembut suara nafas Eyang puteri terdengar, aku benarkan posisi dan menyandarkan punggung pada bantal lalu mulai membuka pembicaraan, “Eyang sudah tidur?”

“belum.” Eyang Puteri menjawab singkat, “Eyang, boleh Neng bertanya?” aku berkata lagi pada Eyang Puteri.

“mau nanya apa Neng cantik, kok tumben minta ijin dulu.” Eyang Puteri menjawab sambil tersenyum dan kini dirinya bangkit dari tidur lalu duduk disampingku.

Aku membalas senyum Eyang Puteri, dan kini akupun turut dalam posisi duduk, lalu bertanya kembali, “Maaf ya Eyang kalau pertanyaan Neng salah, Neng masih penasaran sama Ibu, sebenarnya Ibu Neng orang mana, terus sekarang tinggal dimana, apa Neng sudah tidak punya Ibu, kalau memang iya kenapa Bapak tidak pernah bilang kalau Ibu sudah meninggal, mungkin Eyang Puteri tau tentang semua ini juga bisa jadi sumber jawaban dari rasa penasaran Neng selama ini.”

Beberapa saat kutunggu, Eyang Puteri belum juga memberi jawaban atas pertanyaanku, Eyang Puteri mendekatkan posisi duduknya lebih erat denganku, lalu dielusnya rambutku dan mulai menjawab, “mungkin ini waktunya.”Hanya sepatah kata itu yang kudengar, belum sempat aku menyela, Eyang Puteri berkata kembali dan mengajakku untuk segera tidur, “sudah malam, sekarang waktunya tidur, mungkin besok Neng bisa cari tau jawaban dari rasa penasaran itu.” Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami, dan aku dengar kembali nafas lembut Eyang Puteri pertanda ia sudah mulai tertidur, atau mungkin hanya ingin mengalihkan perhatian dengan berpura-pura tertidur, berkali-kali aku mencoba pejamkan mata tetapi tetap tidak bisa, aku ingin pagi segera menyapa agar hilang semua tanya yang selama ini meraja.

***

Pagi pun tiba, waktu baru saja berlalu dari adzan subuh pertama, aku segera bangkit dari tempat tidur, dingin air dari keran tidak membuatku kendur untuk mengambil air wudhu, setelah bersuci, aku kembali kedalam kamar dan aku bangunkan Eyang Puteri untuk lalu sholat berjamaah, dua rakaat ini terasa begitu khusyuk, kubenamkan dalam-dalam kening pada alas sajadahku, mencoba menumpahkan segala kebingungan dalam hati pada sang khalik, sang maha mengetahui segala yang terjadi pada hambanya, selesai sholat kucium lembut tangan Eyang Puteri dan kulanjutkan berdoa, terlintas lagi wajah Bapak dimataku, dan melelehlah air mata ini mengalir bersama dengan doa yang aku panjatkan, subuh segera berlalu, aku mandi lebih pagi kali ini, lalu melanjutkan menyibukkan diri dengan membersihkan rumah, beberapa saat setelah aku selesai menjemur pakaian yang tadi aku cuci Eyang Puteri memanggilku, ternyata Eyang Puteri mengajakku untuk sarapan, akupun bergegas menghampiri Eyang Puteri yang sudah duduk menunggu dikursi meja makan, kami berduapun mulai makan dengan tenang, kuambil 2 gelas kosong lalu ku isi dengan air dan kuberikan pada Eyang Puteri salah satunya, belum sempat Eyang Puteri mengambil minuman yang aku berikan tiba-tiba sebuah kunci beserta gantungannya disodorkan oleh Eyang Puteri padaku,kunci itu tidak segera kuambil, aku masih belum mengerti maksud Eyang Puteri, segera saja kuhabiskan pisang yang kumakan lalu bertanya pada Eyang Puteri, “kunci apa ini Eyang?”

Ditanya begitu Eyang Puteri hanya tersenyum, membuat aku semakin tidak mengerti, “bukankah semalam kamu mempunyai pertanyaan pada Eyang dan belum sempat terjawab, dan ini adalah kunci untuk memulai membukakan titik terang atas segala apa yang menjadi pertanyaanmudan semoga dari kunci ini jadi awal didapatnya jawaban yang kamu cari.”Panjang dan jelas Eyang Puteri memberikan jawaban padaku.

“apakah selama ini ada rahasia yang Bapak sembunyikan?” sambil menimang-nimang kunci yang diberikan Eyang Puteri aku mencoba menggali kembali apa yang sebenarnya terjadi, kulihat Eyang Puteri menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, seperti ada suatu hal yang memang berat sekali untuk dikatakan, “apa Neng merasa Eyang selama ini begitu? Mana mungkin ada hal yang Eyang ataupun Bapak sembunyikan dari Neng, dan kunci itu adalah wasiat dari Bapakmu sewaktu sakit ia berikan pada Eyang dan menitipkan sambil berpesan, kalau suatu saat sakitnya tidak kunjung sembuh dan Bapakmu tidak mampu lagi melawan sakitnya, maka kamulah Neng satu-satu harapan Bapak untuk melanjutkan apa yang sudah Bapak mulai, Eyang juga tidak tahu apa isi dari dalam yang terkunci tersebut, tapi Eyang yakin ada hal yang Bapakmu hanya ingin kamu saja yang tau, dan Eyangpun mencoba menjaga amanat itu tanpa sekalipun mencoba mencari tau apa yang selama ini Bapakmu simpan, dan saat tadi malam Neng bertanya seperti itu, Eyang pikir mungkin ini waktunya kunci itu Eyang berikan pada yang berhak, karena Eyang tidak tahu berapa lama lagi waktu yang Eyang punya untuk terus menyimpan amanat ini, sebelum semuanya menjadi terlambat, ini saat yang tepat kamu tau, kunci itu adalah kunci dari sebuah laci dibengkel tempat kerja Bapak, coba saja Neng Tanya pada Kakek Haji siapatau Kakek dapat membantu mencarikan laci mana yang cocok dengan kunci itu, percaya pada Eyang, Neng cucu kesayangan Eyang mana mungkin Eyang berbohong pada cucu Eyang sendiri. Panjang sekali Eyang Puteri menjelaskan padaku, aku hanya terdiam dan menganggukkan kepala mendengar penjelasan dari Eyang Puteri.

Jam 10.30 pagi aku sempatkan kebengkel milik Bapak, disana kulihat Kakek Haji sedang duduk dimeja yang biasa Bapak duduki, Kakek Haji adalah paman dari Bapak, dan beliau sudah kurasa sebagai Kakekku sendiri karena jauh sebelum aku lahir Eyang Kakung memang telah pergi menghadap Yang Maha Esa, kulihat Kakek bangun dari duduknya lalu tersenyum padaku, aku segera mencium salam tangannya, basi-basi sebentar dan Kakek terlihat heran melihat aku datang kebengkel, kuambil sebuah kursi plastik dan duduk berhadapan dengan Kakek, “Neng Lita ada apa, pagi-pagi udah main kebengkel?” Kakek bertanya heran padaku, aku tidak segera menjawab, lalu aku berikan kunci yang tadi Eyang Puteri berikan padaku kepada Kakek, Kakek mengernyitkan kedua matanya memperhatikan kunci yang kuberikan, “Kakek bisa bantu Neng cari laci yang cocok sama kunci itu, Eyang Puteri bilang itu kunci dari salah satu laci yang ada disini.”Aku coba menjelaskan perihal kunci itu pada Kakek, tanpa menjawab, kakek langsung memutar badannya dan mencoba mencocokkan kunci itu pada lubang kunci dari laci yang ada dibelakang meja kerjanya, akhirnya kunci itu berhasil menemukan lubang yang cocok dan terbukalah sebuah laci, “ini Neng.” Kakek berkata singkat padaku, tanpa menunggu instruksi lagi aku segera menghampiri Kakek dan melihat isi laci yang barusan terbuka, didalam laci kudapati sebuah box berukuran 20 x 30 cm berwarna biru tua, kuambil box itu dan segera aku pamit undur diri pada Kakek untuk pulang, sampai didepan bengkel aku masih sempat ditegur Mang Ahdan, dia bertanya kenapa aku terlihat buru-buru sekali, aku hanya tersenyum dan terus berlalu, aku ingin segera sampai rumah.

Sesampainya dirumah, ternyata Eyang Puteri terlihat sedang membalik-balikkan baju yang tadi pagi aku jemur, segera saja aku tanpa memberi tahu Eyang Puteri masuk kedalam kamar dan mengunci kamar agar fokusku tidak terganggu, box biru tua itu masih berada dalam pelukanku, lalu kusimpan box itu diatas meja belajar, kubenarkan posisi dudukku, terasa jantungku semakin berdebar kencang saat mencoba membuka kait box biru tua itu, dan akhirnya box itu kini benar-benar terbuka, dibagian paling atas box tersebut dilapisi selembar sterofom tipis, kuangkat strefom itu dibalik sterofom itu kulihat terdapat tempelan kertas bertuliskan COBA LIHAT ELVITA!!, aku belum mengerti apa maksud yang Bapak tuliskan, karena nama itu merupakan namaku, dibawah kertas itu terdapat dua lembar foto yang ditempelkan berdampingan, seorang lelaki agak kurus dengan kumis tipis, mungkin ini adalah foto Bapak waktu muda kira-kira usia 24 atau 25 tahun dan disebelahnya adalah seorang foto perempuan, agak lama aku pandang wajah perempuan dalam foto itu, kulitnya sawo matang matanya agak sipit dan senyumnya membentuk lesung pipit dipipinya, umurnya kira-kira lebih muda dari Bapak mungkin baru seumuran aku, yah memang selintas aku seperti melihat diriku sendiri, semakin manis terlihat wajah itu dengan balutan kerudung warna coklat yang dikenakannya, aku semakin keras berfikir, apakah ini Ibu, tapi aku terus mencari apalagi yang lain yang tersimpan dalam box ini, didalam box ini terdapat sebuah handphone model lama beserta chargernya, kucoba nyalakan ternyata baterai handphone low, aku segera mengecasnya sambil terus membuka-buka apa yang tersimpan lagi dalam box ini, terdapat banyak sekali kertas dengan tulis tangan Bapak, kubaca satu persatu dengan perlahan, ada dua tulisan Bapak yang begitu mengena buatku dan menjadi jawaban akan siapa Ibu juga aku sebenarnya, dan maksud tentang siapa nama yang tertulis dikertas itu, dalam kertas tulisan Bapak yang pertama, bapak menuliskan,

“Lima tahun waktu yang telah aku rasakan untuk mengenalmu, aku merasa mendapat kehidupan yang baru, semangat baru setelah mengenalmu, dan engkaupun seakan menyambut lambaian tanganku, dirimu sudah menyatu dalam darah dagingku, dan saat aku tidak pernah berpikir semua ini akan berakhir, saat semuanya sedang aku persiapkan, Tuhan mengujiku dengan hal yang sulit aku jalani sebenarnya, engkau berubah menjadi sosok yang benar-benar tidak aku kenal, apakah itu pengaruh pergaulan? Padahal selama ini aku sedang mempersiapkan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik dan terus belajar untuk menghindari kesalahan, tetapi ternyata bagimu aku bukanlah apa-apa, semua telah aku berikan apapun yang kumampu telah aku lakukan, jika aku memang tidak bisa bersanding denganmu disisa hidupku, maka aku akan berjanji untuk tidak membuka hati lagi, aku akan tetap begini agar kelak engkau paham bahwa cinta dan kasih sayang sejati itu ada, ya itu adalah aku, aku akan buktikan kelak akan ada lagi Elvita hebat yang aku miliki selamanya, dan engkau akan sadar tentang hebatnya rasaku ini, aku tidak sakit hati dengan apa yang engkau lakukan, semoga setelah aku tidak ada lagi hati yang tersakiti, tidak ada lagi harapan yang mati.”

Aku yang menyayangimu

 

Leleh kini dari kedua sudut mataku, terasa hangat mengalir dipipi, kuusap kedua mataku yang mulai memerah lalu kubuka lembaran berikutnya, dan perlahan kubaca tulisan Bapak selanjutnya,

“3 tahun tanpa tahu tentang dirimu, adalah hal yang paling berat aku jalankan, dan keputusanku sudah bulat, kali ini aku sudah berjanji pada ibuku dan pada seluruh anggota keluargaku bahwa aku akan tetap melajang dan menunggumu dengan harapan bisa bersanding denganmu walau sebentar disisa hidup nanti, gelombang penolakan berasa berat aku rasakan, semua hampir tidak setuju dengan keputusan yang aku ambil, tetapi ini adalah jalan hidupku, kuambil semua tabungan yang awalnya kupersiapkan untuk melamar dan untuk menikahimu itu dan dari tabungan itu kumulai membuka usaha kecilku sendiri, dan kini umurku hampir tepat diangka 30, aku harus segera memiliki penerus, maka berangkatlah aku kerumah sakit untuk mencari seorang bayi, bayi perempuan yang akan aku adopsi dan aku besarkan dan kudidik untuk menjadi seperti dirimu, tetapi yang lebih punya hati, walau kutau semua menganggap aku gila dengan jalan yang aku ambil tetapi aku tetap yakin ini keputusan yang tepat, akhirnya bayi itu aku dapat, seorang bayi perempuan yang masih merah itu berasal dari keluarga tidak mampu yang bapaknya telah meninggal saat bayi itu masih didalam kandungan, serta ibu yang meninggal karena pendarahan saat persalinan, bayi cantik itu aku namakan Elvita, persis seperti namamu, agar hidupku kembali terisi dengan semangat yang dulu pernah ada, dua tahun mengurus usaha yang baru kurintis serta menjadi seorang orang tua tunggal begitu berat, sampai akhirnya Allah membukakan jalan dan anak ini membawa berkah dalam keluarga ini, ibu yang awalnya menolak keras perlahan mulai melunak dan mau tinggal bersama dengan keluarga kecilku, dan akhirnya anak ini tumbuh besar dan cantik, sama sepertimu, kini benar-benar aku seperti melihatmu lagi, tetapi aku sampai saat ini belum tau apa kabar tentangmu, bahagiakah kamu, anak ini selalu bertanya padaku dimana ibu, dalam hatiku terenyuh, ingin aku datang padamu dan mengajakmu menikah lalu kukatakan padaanak ini, nak inilah ibu, tapi sepertinya itu adalah ketidak mungkinan, dan anak ini terus tumbuh dewasa, kini dia sekolah ditempatmu sekolah dahulu, tempat dimana aku dan kamu bertemu dihalte bis kampus itu, aku terkadang lama duduk dihalte itu hanya ingin mengingat masa itu, dan kini aku harus jujur, aku bangga telah menjadi diriku yang hampir bisa membuktikan janji ini padamu, semoga kelak engkau benar-benar tau bahwa cinta itu bisa mengalahkan segalanya, hidupku sudah terasa lengkap tetapi lebih lengkap jika engkau masih mau membuka diri untukku, walau mungkin tidak akan pernah terjadi karena engkau juga disana mungkin telah mengarungi kehidupan baru, semoga kita bertemu dialam keabadian.”

***

Dan akhirnya aku kini benar-benar tumpah dalam keharuanku, betapa dia sosok laki-laki yang kukenal begitu luar biasa bukanlah Bapak kandungku, tetapi sungguh aku tidak pernah menyesal untuk itu, aku malah merasa semakin berdosa belum sempat bisa memberikan yang terbaik untuk Bapak, laki-laki ini begitu sempurna dimataku kenapa harus mendapatkan perlakuan seburuk itu dihidupnya, apapun yang Bapak lakukan tetap aku bangga sebagai anak adopsinya, mungkin tanpa Bapak, aku telah mati bersama kedua orang tuaku berpuluh tahun yang lalu, masih ada beberapa lembar kertas lagi didalam box, kuambil perlahan ternyata itu adalah sebuah alamat, ada dua alamat yang satu adalah alamat rumah di Jawa Timur sedang yang lainnya adalah alamat kos, setelah aku cermati dan ternyata yah alamat kos itu adalah yang kini aku tempati selama kuliah di Bogor, ya Tuhan Bapak ternyata begitu dalam mengharapkan wanita itu, sampai-sampai setiap kenangannya tak ingin terhapus sama sekali, aku bangun dari dudukku dan kuambil Handphone yang tadi sempat low, ternyata kini sudah hampir penuh, kucoba menyalakan dan kubuka perlahan dalam kotak pesan masuknya, ternyata disitu terdapat semua sms yang wanita itu kirimkan pada Bapak, dari isi sms yang aku baca memang sepertinya Bapak dan wanita itu sudah begitu dekat, sehingga mereka mempunyai nama panggilan sendiri nama itu adalah Djoub, otakku berputar dan akhirnya membentur sesuatu yah Djoub, bengkel Bapak dinamai dengan nama EDJ DJOUB, ternyata Djoub jika dianalisa secara cermat adalah alphabet yang terbaca cinta, ya Bapak dan wanita itu memang pernah saling mencintai, dan Bapak adalah laki-laki paling setia yang menjaga cintanya yang aku tau, teladan Bapak tidak akan pernah hilang, dan wanita dalam foto itu harus tahu tentang semua ini, mungkin dengan begitu Bapak akan semakin tenang disana, karena janjinya telah benar-benar ditepatinya, dan aku sendiri merasa penasaran terhadap wanita yang ternyata senior sealmamater denganku, ternyata inilah yang mendorong Bapak ingin menguliahkanku di Bogor.

Nomor Handphone yang terdapat di Handphone Bapak sudah tidak dapat aku hubungi, dan aku rasanya ingin segera kembali ke Bogor untuk segera mencari tahu, bertemu dan memberikan box ini pada wanita pujaan Bapak waktu dahulu itu, segera kurapihkan kembali isi didalam box biru tua itu karena kini pintu kamar terdengar terketuk dari luar dan beberapa kali suara Eyang Puteri terdengar memanggilku, setengah terburu-buru aku simpan box itu dibawah meja dan kurapihkan wajahku agar tidak terlihat sembab, tapi tetap saja saat pintu kubuka aku tidak kuasa menahan haru dan langsung kupeluk tubuh Eyang Puteri, dan menumpahkan kembali tangisku disitu, inilah wanita terhebat yang kutahu, sungguh ini jadi hari yang luar biasa didalam hidupku, terima kasih Tuhan.

 

SELESAI

Dibatas pulau jawa, 2015

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun