Beberapa saat kutunggu, Eyang Puteri belum juga memberi jawaban atas pertanyaanku, Eyang Puteri mendekatkan posisi duduknya lebih erat denganku, lalu dielusnya rambutku dan mulai menjawab, “mungkin ini waktunya.”Hanya sepatah kata itu yang kudengar, belum sempat aku menyela, Eyang Puteri berkata kembali dan mengajakku untuk segera tidur, “sudah malam, sekarang waktunya tidur, mungkin besok Neng bisa cari tau jawaban dari rasa penasaran itu.” Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami, dan aku dengar kembali nafas lembut Eyang Puteri pertanda ia sudah mulai tertidur, atau mungkin hanya ingin mengalihkan perhatian dengan berpura-pura tertidur, berkali-kali aku mencoba pejamkan mata tetapi tetap tidak bisa, aku ingin pagi segera menyapa agar hilang semua tanya yang selama ini meraja.
***
Pagi pun tiba, waktu baru saja berlalu dari adzan subuh pertama, aku segera bangkit dari tempat tidur, dingin air dari keran tidak membuatku kendur untuk mengambil air wudhu, setelah bersuci, aku kembali kedalam kamar dan aku bangunkan Eyang Puteri untuk lalu sholat berjamaah, dua rakaat ini terasa begitu khusyuk, kubenamkan dalam-dalam kening pada alas sajadahku, mencoba menumpahkan segala kebingungan dalam hati pada sang khalik, sang maha mengetahui segala yang terjadi pada hambanya, selesai sholat kucium lembut tangan Eyang Puteri dan kulanjutkan berdoa, terlintas lagi wajah Bapak dimataku, dan melelehlah air mata ini mengalir bersama dengan doa yang aku panjatkan, subuh segera berlalu, aku mandi lebih pagi kali ini, lalu melanjutkan menyibukkan diri dengan membersihkan rumah, beberapa saat setelah aku selesai menjemur pakaian yang tadi aku cuci Eyang Puteri memanggilku, ternyata Eyang Puteri mengajakku untuk sarapan, akupun bergegas menghampiri Eyang Puteri yang sudah duduk menunggu dikursi meja makan, kami berduapun mulai makan dengan tenang, kuambil 2 gelas kosong lalu ku isi dengan air dan kuberikan pada Eyang Puteri salah satunya, belum sempat Eyang Puteri mengambil minuman yang aku berikan tiba-tiba sebuah kunci beserta gantungannya disodorkan oleh Eyang Puteri padaku,kunci itu tidak segera kuambil, aku masih belum mengerti maksud Eyang Puteri, segera saja kuhabiskan pisang yang kumakan lalu bertanya pada Eyang Puteri, “kunci apa ini Eyang?”
Ditanya begitu Eyang Puteri hanya tersenyum, membuat aku semakin tidak mengerti, “bukankah semalam kamu mempunyai pertanyaan pada Eyang dan belum sempat terjawab, dan ini adalah kunci untuk memulai membukakan titik terang atas segala apa yang menjadi pertanyaanmudan semoga dari kunci ini jadi awal didapatnya jawaban yang kamu cari.”Panjang dan jelas Eyang Puteri memberikan jawaban padaku.
“apakah selama ini ada rahasia yang Bapak sembunyikan?” sambil menimang-nimang kunci yang diberikan Eyang Puteri aku mencoba menggali kembali apa yang sebenarnya terjadi, kulihat Eyang Puteri menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, seperti ada suatu hal yang memang berat sekali untuk dikatakan, “apa Neng merasa Eyang selama ini begitu? Mana mungkin ada hal yang Eyang ataupun Bapak sembunyikan dari Neng, dan kunci itu adalah wasiat dari Bapakmu sewaktu sakit ia berikan pada Eyang dan menitipkan sambil berpesan, kalau suatu saat sakitnya tidak kunjung sembuh dan Bapakmu tidak mampu lagi melawan sakitnya, maka kamulah Neng satu-satu harapan Bapak untuk melanjutkan apa yang sudah Bapak mulai, Eyang juga tidak tahu apa isi dari dalam yang terkunci tersebut, tapi Eyang yakin ada hal yang Bapakmu hanya ingin kamu saja yang tau, dan Eyangpun mencoba menjaga amanat itu tanpa sekalipun mencoba mencari tau apa yang selama ini Bapakmu simpan, dan saat tadi malam Neng bertanya seperti itu, Eyang pikir mungkin ini waktunya kunci itu Eyang berikan pada yang berhak, karena Eyang tidak tahu berapa lama lagi waktu yang Eyang punya untuk terus menyimpan amanat ini, sebelum semuanya menjadi terlambat, ini saat yang tepat kamu tau, kunci itu adalah kunci dari sebuah laci dibengkel tempat kerja Bapak, coba saja Neng Tanya pada Kakek Haji siapatau Kakek dapat membantu mencarikan laci mana yang cocok dengan kunci itu, percaya pada Eyang, Neng cucu kesayangan Eyang mana mungkin Eyang berbohong pada cucu Eyang sendiri. Panjang sekali Eyang Puteri menjelaskan padaku, aku hanya terdiam dan menganggukkan kepala mendengar penjelasan dari Eyang Puteri.
Jam 10.30 pagi aku sempatkan kebengkel milik Bapak, disana kulihat Kakek Haji sedang duduk dimeja yang biasa Bapak duduki, Kakek Haji adalah paman dari Bapak, dan beliau sudah kurasa sebagai Kakekku sendiri karena jauh sebelum aku lahir Eyang Kakung memang telah pergi menghadap Yang Maha Esa, kulihat Kakek bangun dari duduknya lalu tersenyum padaku, aku segera mencium salam tangannya, basi-basi sebentar dan Kakek terlihat heran melihat aku datang kebengkel, kuambil sebuah kursi plastik dan duduk berhadapan dengan Kakek, “Neng Lita ada apa, pagi-pagi udah main kebengkel?” Kakek bertanya heran padaku, aku tidak segera menjawab, lalu aku berikan kunci yang tadi Eyang Puteri berikan padaku kepada Kakek, Kakek mengernyitkan kedua matanya memperhatikan kunci yang kuberikan, “Kakek bisa bantu Neng cari laci yang cocok sama kunci itu, Eyang Puteri bilang itu kunci dari salah satu laci yang ada disini.”Aku coba menjelaskan perihal kunci itu pada Kakek, tanpa menjawab, kakek langsung memutar badannya dan mencoba mencocokkan kunci itu pada lubang kunci dari laci yang ada dibelakang meja kerjanya, akhirnya kunci itu berhasil menemukan lubang yang cocok dan terbukalah sebuah laci, “ini Neng.” Kakek berkata singkat padaku, tanpa menunggu instruksi lagi aku segera menghampiri Kakek dan melihat isi laci yang barusan terbuka, didalam laci kudapati sebuah box berukuran 20 x 30 cm berwarna biru tua, kuambil box itu dan segera aku pamit undur diri pada Kakek untuk pulang, sampai didepan bengkel aku masih sempat ditegur Mang Ahdan, dia bertanya kenapa aku terlihat buru-buru sekali, aku hanya tersenyum dan terus berlalu, aku ingin segera sampai rumah.
Sesampainya dirumah, ternyata Eyang Puteri terlihat sedang membalik-balikkan baju yang tadi pagi aku jemur, segera saja aku tanpa memberi tahu Eyang Puteri masuk kedalam kamar dan mengunci kamar agar fokusku tidak terganggu, box biru tua itu masih berada dalam pelukanku, lalu kusimpan box itu diatas meja belajar, kubenarkan posisi dudukku, terasa jantungku semakin berdebar kencang saat mencoba membuka kait box biru tua itu, dan akhirnya box itu kini benar-benar terbuka, dibagian paling atas box tersebut dilapisi selembar sterofom tipis, kuangkat strefom itu dibalik sterofom itu kulihat terdapat tempelan kertas bertuliskan COBA LIHAT ELVITA!!, aku belum mengerti apa maksud yang Bapak tuliskan, karena nama itu merupakan namaku, dibawah kertas itu terdapat dua lembar foto yang ditempelkan berdampingan, seorang lelaki agak kurus dengan kumis tipis, mungkin ini adalah foto Bapak waktu muda kira-kira usia 24 atau 25 tahun dan disebelahnya adalah seorang foto perempuan, agak lama aku pandang wajah perempuan dalam foto itu, kulitnya sawo matang matanya agak sipit dan senyumnya membentuk lesung pipit dipipinya, umurnya kira-kira lebih muda dari Bapak mungkin baru seumuran aku, yah memang selintas aku seperti melihat diriku sendiri, semakin manis terlihat wajah itu dengan balutan kerudung warna coklat yang dikenakannya, aku semakin keras berfikir, apakah ini Ibu, tapi aku terus mencari apalagi yang lain yang tersimpan dalam box ini, didalam box ini terdapat sebuah handphone model lama beserta chargernya, kucoba nyalakan ternyata baterai handphone low, aku segera mengecasnya sambil terus membuka-buka apa yang tersimpan lagi dalam box ini, terdapat banyak sekali kertas dengan tulis tangan Bapak, kubaca satu persatu dengan perlahan, ada dua tulisan Bapak yang begitu mengena buatku dan menjadi jawaban akan siapa Ibu juga aku sebenarnya, dan maksud tentang siapa nama yang tertulis dikertas itu, dalam kertas tulisan Bapak yang pertama, bapak menuliskan,
“Lima tahun waktu yang telah aku rasakan untuk mengenalmu, aku merasa mendapat kehidupan yang baru, semangat baru setelah mengenalmu, dan engkaupun seakan menyambut lambaian tanganku, dirimu sudah menyatu dalam darah dagingku, dan saat aku tidak pernah berpikir semua ini akan berakhir, saat semuanya sedang aku persiapkan, Tuhan mengujiku dengan hal yang sulit aku jalani sebenarnya, engkau berubah menjadi sosok yang benar-benar tidak aku kenal, apakah itu pengaruh pergaulan? Padahal selama ini aku sedang mempersiapkan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik dan terus belajar untuk menghindari kesalahan, tetapi ternyata bagimu aku bukanlah apa-apa, semua telah aku berikan apapun yang kumampu telah aku lakukan, jika aku memang tidak bisa bersanding denganmu disisa hidupku, maka aku akan berjanji untuk tidak membuka hati lagi, aku akan tetap begini agar kelak engkau paham bahwa cinta dan kasih sayang sejati itu ada, ya itu adalah aku, aku akan buktikan kelak akan ada lagi Elvita hebat yang aku miliki selamanya, dan engkau akan sadar tentang hebatnya rasaku ini, aku tidak sakit hati dengan apa yang engkau lakukan, semoga setelah aku tidak ada lagi hati yang tersakiti, tidak ada lagi harapan yang mati.”
Aku yang menyayangimu
Leleh kini dari kedua sudut mataku, terasa hangat mengalir dipipi, kuusap kedua mataku yang mulai memerah lalu kubuka lembaran berikutnya, dan perlahan kubaca tulisan Bapak selanjutnya,