Mohon tunggu...
okki oktaviandi
okki oktaviandi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Innal Fata Man Yaqull Haa Anadza

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menangkal Transformasi Konflik dalam Lapas dan Rutan

27 Januari 2021   10:50 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:15 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara universal, penjara merupakan tempat kurungan bagi seorang terpidana yang berdasarkan keputusan pengadilan dinyatakan bersalah di hadapan hukum. Lebih khusus, penjara bagi negara-negara iskandanavia, penjara adalah tempat untuk dilaksanakannya pembinaan yang berbentuk pemberian pekerjaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dalam rangka memberikan keterampilan dan skill sehingga menjadi bekal baginya setelah selesai menjalani pidana. 

Di Indonesia penjara dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah tempat dilaksanakannya Sistem Pemasyarakatan yang mengacu pada nilai -- nilai Pancasila dan budi luhur Pengayoman yang telah cetuskan oleh Dr. Saharjo melalui 10 Prinsip Pemasyarakatan dengan tujuan reintegrasi sosial. 

Terlepas dari bagaimana pembinaan yang dilaksanakan dalam penjara, Lapas maupun Rutan, adalah menjadi syarat penting bagi berlangsungnya pembinaan di dalam kondisi yang kondusif tanpa adanya transformasi konflik (gangguan kemanan dan ketertiban). Hal ini tentu akan mendorong pelaksanaan pembinaan dalam Lapas dan Rutan.

Dalam konteks pengamanan, transformasi konflik atau gangguan keamanan dan ketertiban (kamtib) di dalam Lapas maupun Rutan disebabkan oleh friksi, yaitu hubungan kausalitas antara regulasi, petugas, WBP serta konflik yang terjadi didalamnya. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana menangkal transformasi konflik dalam Lapas dan Rutan di Indonesia.

Kebijakan Pengamanan Lapas dan Rutan di Indonesia 

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir hampir 50% penghuni Lapas dan Rutan dihuni oleh kasus dengan narkotika baik pengedar, kurir hingga bandar narkoba. Belum lagi permasalahan kejahatan dengan tingkat kualifikasi A yakni membahayakan diri sendiri dan orang lain termasuk kejahatan dalam kategori finansial (white collar crime) dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan--kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime dengan tingkat kualifikasi risiko tinggi. 

Dalam Buku Standar Pembinaan Risiko Tinggi Narapidana tahun 2017, dijelaskan bahwa narapidana dengan tingkat risiko tinggi sangat berpotensi menimbulkan ancaman dan risiko yang sangat tinggi, oleh sebab itu diperlukan kebijakan khusus terkait manajemen pengamanan untuk kualifikasi narapidana dengan risiko tinggi. Kebijakan dan strategi pengamanan terhadap kejahatan extraordinary crime telah banyak dilakukan mulai dari kebijakan revisi Undang-Undang hingga kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan kejahatan khususnya dalam pengamanan Lapas dan Rutan di Indonesia. 

Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelatihan personil secara aktif telah dilakukan demi menyiapkan strategi pengamanan yang sistemik serta didukung dengan peralatan teknologi yang canggih.

Alhasil, pada tahun 2018, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) berhasil membangun Lapas Super Maksimum Sekuriti (SMS) Kelas IIA Karanganyar di Pulau Penjara (Nusakambangan) dengan kapasitas hingga 1500 narapidana. Lapas ini dibangun dengan sistem electronic devices, dilengkapi dengan teknologi pengamanan super canggih, CCTV, serta personil khusus yakni Emergency Response Team (Pasukan Tanggap Darurat).

Lebih lanjut di tahun yang sama, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) juga telah melakukan upaya pembaharuan sistem dan manajemen risiko pengamanan dengan jalan modifikasi perilaku terhadap narapidana sehingga dapat memisahkan narapidana dengan tingkat kualifikasi risiko tinggi dan tingkat kualifikasi rendah. 

Pemisahan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk perilaku narapidana, mengubah karakter serta melakukan pendekatan psikologis narapidana sehingga narapidana tersebut siap untuk hidup kembali ke masyarakat. Kebijakan tersebut adalah buah dari hasil Revitalisasi Pemasyarakatan yang telah digaungkan oleh Ditjenpas sebagai pilot project dengan melahirkan Permenkumham No. 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan.

Selain itu, untuk mendukung pilot project tersebut, pemindahan sejumlah narapidana dengan kategori risiko tinggi juga telah dilaksanakan sampai saat ini, dengan tujuan untuk memisahkan dengan narapidana lain dengan tingkat risiko yang rendah/minimum. Hal ini juga, tentu dapat menjauhkan dari dampak prisonisasi (dampak lingkungan penjara) serta memudahkan untuk melakukan pembinaan khusus terhadap narapidana dengan tingkat kualifikasi yang tinggi. Sejauh ini, pengamanan terhadap risiko tinggi dibagi dalam empat tingkatan/fase, yakni :

1. Tingkat Super Maksimum (pengawasan sangat tinggi)

2. Tingkat Maksimum (pengawasan tinggi)

3. Tingkat Medium (pengawasan sedang)

4. Tingkat Minimum (pengawasan rendah)

Dalam konteks pembinaan diatas, dijelaskan bahwa tingkat/fase tersebut adalah hal mutlak yang harus dijalani oleh narapidana dengan tingkat risiko tinggi hingga ke tingkat/fase minimum hingga narapidana tersebut telah dinyatakan siap untuk kembali ke masyarakat.

Pencegahan Keamanan dan Ketertiban di Lapas dan Rutan di Indonesia

Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-416.PK.01.04.01 tanggal 21 Agustus 2015 tentang Standar Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban ada tiga komponen pokok dalam upaya pencegahan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ataupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) yakni Deteksi, Peringatan dan Cegah Dini dengan tujuan adalah, penangkalan, pencegahan dan penanggulangan.

Selain itu, dalam Kepdirjen tersebut juga dijabarkan metode pencegahan dalam enam poin yakni, penelitian/instrumen, pengamatan/penggambaran, wawancara/eliciting, interogasi, dokumentasi, pencatatan, membuat laporan/intelejensi dasar dan melaksanakan koordinasi sinergitas antar lembaga penegak hukum.

Lebih lanjut, konsep tersebut telah disempurnakan dengan 14 jenis kegiatan pencegahan sesuai yang tercantum dalam pasal 8 Permenkumham No. 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan pada Lapas dan Rutan yakni, pemeriksaan, penjagaan, pengawalan, penggeledahan, inspeksi, kontrol, intelijen, pengendalian, pengawasan, pengendalian peralatan, pengawasan komunikasi, pengendalian lingkungan, penguncian, penempatan, investigasi dan reka ulang serta tindakan lain dengan metode atau strategi pre -- emptif ,preventif dan represif.

Adapun strategi pencegahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pre-emptif yakni upaya pencegahan dan menetralisasi niat yakni pembentukan sat-opspatnal ditingkat pusat, wilayah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT), pelatihan teknis intelijen, pencegahan, penindakan dan kode etik kepada para petugas Pemasyarakatan, asistensi pada UPT untuk Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), serta penyusunan regulasi dan penguatan fungsi petugas pengamanan.

Preventif yakni upaya pencegahan dengan mengurangi kesempatan yakni penyediaan sarana dan prasarana keamanan, perbaikan/renovasi kondisi bangunan, pola penempatan one man, one cell kepada WBP/narapidana high risk, pembangunan Lapas Kelas IIA Karanganyar serta pemeriksaan rutin kepada WBP dan petugas

Represif yaitu pencegahan dengan penggunaan kekuatan, yakni mutasi atau pemindahan narapidana terorisme dan bandar narkoba dan narapidana dengan kualifikasi resiko tinggi ke pulan Nusakambangan, penjatuhan hukuman disiplin, pemecatan, dan pidana kepada petugas yang terbukti melakukan pelanggaran/pidana serta melakukan razia dan inspeksi ke UPT.

Hard and Soft Approuch Methods

Dalam pendekatan hard approuch pengamanan dengan pengetatan yang tinggi menjadi kunci utama dalam kasus ini. Metode ini telah banyak digunakan oleh personil militer dengan tujuan adalah memberikan ruang gerak yang terbatas terhadap ancaman yang muncul. Hal tersebut juga diatur dalam aturan 47 Mandela Rules yaitu pengetatan atau pengekangan dapat dilakukan sesuai dengan tingkat resiko yang ditimbulkan. 

Oleh sebab itu, untuk konteks hard approuch ini adalah sangat penting dilakukan metode taktis cara-cara pengendalian, penggalian informasi dan penyusunan database pengamanan baik peralatan maupun lingkungan. Selain itu, pelatihan serta peningkatan kapasitas petugas melalui pelatihan penggunaan alat -- alat pengamanan, pelatihan fisik dan mental personil, serta koordinasi antar lembaga baik secara internal maupun eksternal.

Berbeda dengan metode taktis yakni soft approuch yang telah digunakan di dalam Lapas dan Rutan di Indonesia. Metode ini adalah pengamanan secara statis dengan melakukan pendekatan persuasif kepada WBP dengan memberikan pemahaman serta pembinaan secara berkala kepada narapidana. Dalam istilah Pemasyarakatan, cara ini dikenal dengan istilah reintegration system. 

Soft Approuch ini, mengalami banyak perkembangan seiring dengan pembinaan secara soft approuch ini, yaitu penggunaan asesment dalam metode pengamanan. Hal ini akan memudahkan bagi petugas untuk mengenali potensi ancaman dan risiko gangguan kemanan dan ketertiban yang akan terjadi. Saat ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mengembangkan asesmen Risiko Residivisme Indonesia (RRI) serta asesmen Criminogenic agar didapat data dan potensi ancaman dari pendekatan secara persuasif kepada narapidana.

Di akhir tulisan ini, penulis juga ingin menyampaikan bahwa pencegahan keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan tidak terlepas juga dari tingkat kewaspadaan petugas yang secara langsung menjadi aktor utama dalam pencegahan keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan. Penegakkan regulasi serta pemahaman konsep keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan juga merupakan suatu kesatuan penting yang tidak dapat terpisahkan dalam strategi pencegahan dan penangkalan transformasi konflik dalam Lapas dan Rutan.

Untuk itu sangat diperlukan kehati-hatian, kecermatan serta kecepatan dalam melakukan aksi pengamanan didalam Lapas dan Rutan. Tentunya hal ini menjadi kunci utama dalam pelaksanaan tugas pengamanan dalam Lapas dan Rutan, seperti yang diutarakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan yakni, "Kesiapsiagaan dan kewaspadaan petugas adalah kunci utama dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban didalam Lapas dan Rutan,"Reyhnhard Silitonga".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun