Pre-emptif yakni upaya pencegahan dan menetralisasi niat yakni pembentukan sat-opspatnal ditingkat pusat, wilayah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT), pelatihan teknis intelijen, pencegahan, penindakan dan kode etik kepada para petugas Pemasyarakatan, asistensi pada UPT untuk Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), serta penyusunan regulasi dan penguatan fungsi petugas pengamanan.
Preventif yakni upaya pencegahan dengan mengurangi kesempatan yakni penyediaan sarana dan prasarana keamanan, perbaikan/renovasi kondisi bangunan, pola penempatan one man, one cell kepada WBP/narapidana high risk, pembangunan Lapas Kelas IIA Karanganyar serta pemeriksaan rutin kepada WBP dan petugas
Represif yaitu pencegahan dengan penggunaan kekuatan, yakni mutasi atau pemindahan narapidana terorisme dan bandar narkoba dan narapidana dengan kualifikasi resiko tinggi ke pulan Nusakambangan, penjatuhan hukuman disiplin, pemecatan, dan pidana kepada petugas yang terbukti melakukan pelanggaran/pidana serta melakukan razia dan inspeksi ke UPT.
Hard and Soft Approuch Methods
Dalam pendekatan hard approuch pengamanan dengan pengetatan yang tinggi menjadi kunci utama dalam kasus ini. Metode ini telah banyak digunakan oleh personil militer dengan tujuan adalah memberikan ruang gerak yang terbatas terhadap ancaman yang muncul. Hal tersebut juga diatur dalam aturan 47 Mandela Rules yaitu pengetatan atau pengekangan dapat dilakukan sesuai dengan tingkat resiko yang ditimbulkan.Â
Oleh sebab itu, untuk konteks hard approuch ini adalah sangat penting dilakukan metode taktis cara-cara pengendalian, penggalian informasi dan penyusunan database pengamanan baik peralatan maupun lingkungan. Selain itu, pelatihan serta peningkatan kapasitas petugas melalui pelatihan penggunaan alat -- alat pengamanan, pelatihan fisik dan mental personil, serta koordinasi antar lembaga baik secara internal maupun eksternal.
Berbeda dengan metode taktis yakni soft approuch yang telah digunakan di dalam Lapas dan Rutan di Indonesia. Metode ini adalah pengamanan secara statis dengan melakukan pendekatan persuasif kepada WBP dengan memberikan pemahaman serta pembinaan secara berkala kepada narapidana. Dalam istilah Pemasyarakatan, cara ini dikenal dengan istilah reintegration system.Â
Soft Approuch ini, mengalami banyak perkembangan seiring dengan pembinaan secara soft approuch ini, yaitu penggunaan asesment dalam metode pengamanan. Hal ini akan memudahkan bagi petugas untuk mengenali potensi ancaman dan risiko gangguan kemanan dan ketertiban yang akan terjadi. Saat ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mengembangkan asesmen Risiko Residivisme Indonesia (RRI) serta asesmen Criminogenic agar didapat data dan potensi ancaman dari pendekatan secara persuasif kepada narapidana.
Di akhir tulisan ini, penulis juga ingin menyampaikan bahwa pencegahan keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan tidak terlepas juga dari tingkat kewaspadaan petugas yang secara langsung menjadi aktor utama dalam pencegahan keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan. Penegakkan regulasi serta pemahaman konsep keamanan dan ketertiban dalam Lapas dan Rutan juga merupakan suatu kesatuan penting yang tidak dapat terpisahkan dalam strategi pencegahan dan penangkalan transformasi konflik dalam Lapas dan Rutan.
Untuk itu sangat diperlukan kehati-hatian, kecermatan serta kecepatan dalam melakukan aksi pengamanan didalam Lapas dan Rutan. Tentunya hal ini menjadi kunci utama dalam pelaksanaan tugas pengamanan dalam Lapas dan Rutan, seperti yang diutarakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan yakni, "Kesiapsiagaan dan kewaspadaan petugas adalah kunci utama dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban didalam Lapas dan Rutan,"Reyhnhard Silitonga".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H