"Jangan ngawur kamu!" seru Mbah Yarsi yang kini mencengkeram lenganku.
Dukun yang dipercaya tetua itu membuatku jijik melihatnya begitu dekat berdiri di depanku. Sungguh kejam ia menuduh Siti berpenyakit sial, sementara ia hanya ingin tidur dengan Siti diam-diam.
"Semua warga kampung juga melakukan ini. Hari ini giliranku!"
Omongan Mbah Yarsi itu seperti petir di malam dengan rembulan yang cerah. Semua warga? Itu artinya, Bapakku juga?
"Kalau kamu mau, akan kuselipkan giliran untukmu."
Mbah Yarsi menepuk pundakku, lalu pergi meninggalkan rumah Siti. Sementara aku masih mematung, menyadari betapa semua lelaki di kampung bergantian menyetubuhi Siti. Dan tatapanku kini menumbuk pada Siti yang sedang tergolek lemah di kasur, dengan tubuhnya yang tertutup sarung.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H