Mohon tunggu...
Okky Putri Rahayu
Okky Putri Rahayu Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ngeblog saat senggang

Pernah belajar mencampur larutan kimia, kini lebih suka mencampur kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menunggu Matinya Siti

1 Juni 2020   10:28 Diperbarui: 2 Juni 2020   00:02 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah satu minggu ini kampungku berubah sepi. Semua orang kini mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Tak ada satupun orang yang keluar dari rumahnya, kecuali para bapak-bapak yang bergantian patroli keliling desa.

Aku sendiri juga seminggu ini menahan bosan karena tidak pergi ke warung kopi. Rasanya mulutku gatal ingin mengobrol soal pemeran utama di film bokep kesukaanku dengan Lek Paimo, si pemilik warung. Sebuah obrolan yang menjadi tiket bagiku untuk bisa dapat segelas kopi tanpa perlu bayar. Belum lagi jika aku menunjukkan videonya ke Lek Paimo, aku bisa menjarah apapun di warungnya.

Tapi belakangan, semua warga ketakutan. Termasuk Bapakku yang menjadi galak jika ada siapapun yang melangkah keluar rumah selain dia. Sebab, hanya Bapak yang boleh keluar untuk keperluan patroli atau mengambil persediaan beras dan sayur di balai desa. 

Aku, ibu dan adek perempuanku seperti tawanan di rumah kami sendiri. Jika melanggar, maka Bapak tak akan segan menghajar. Sejujurnya, pernah suatu hari aku mengendap-endap keluar, dan setelah itu, Bapak memukul kakiku dengan sapu.

Aku sendiri heran dengan kekompakan seluruh kepala keluarga di kampung ini. Merekalah yang memutuskan gerakan mengunci diri di rumah. Mereka juga mengatur pembagian sembako dan sayur mayur hingga kebutuhan pokok lainnya. Dalam proses berdiam diri di rumah itu, para bapak-bapak memastikan bahwa tak ada yang kekurangan makanan. Dan tetap aman di dalam rumah.

Sikap itu tentunya bukan tanpa sebab. Semua itu bermula ketika Siti, janda kembang yang pergi merantau jadi pembantu di Batam pulang. Warga mendadak ketakutan saat melihat Siti yang penuh bintil-bintil kemerahan. Bintil-bintil yang memenuhi wajah, tangan dan kaki. 

Menurut cerita yang beredar, Siti tertular penyakit dari orang asing yang berkunjung ke Batam. Warga pun pelan-pelan menjauh dari rumah Siti. Termasuk Ibuku yang bahkan membuang oleh-oleh dari Siti. 

Sejujurnya, ibuku membakarnya. Katanya, itu mengandung virus. Aku sendiri hanya memandangi coklat yang leleh terbakar itu dengan hati yang hancur. Sayang sekali, coklat dari Singapura itu dimusnahkan begitu saja.

Menjadi janda muda memang bukan beban yang ringan. Semua bapak-bapak yang senang melihat Siti dengan kecantikannya, tak sejalan dengan kejijikan para ibu-ibu yang memandang Siti adalah penggoda lelaki orang . Kini ditambah, Siti pulang dengan berpenyakit aneh. Kulitnya penuh bintil, dan hidungnya terus berair. Dia juga sering terlihat mual.

Pernah satu hari, Siti datang ke bidan di kampung kami. Dan semua berawal dari sana. Ketika si bidan menyebut Siti terjangkit virus dari luar negeri.

Usaha Siti pun tak berhenti. Kudengar dari Lek Paimo, Siti juga bahkan berobat ke rumah sakit di kabupaten. Tapi semua memulangkan Siti dengan dalih Siti tidak apa-apa dan penyakitnya tidak bahaya. Lalu mereka memberikan obat alergi dan juga obat lambung. Siti pun kembali ke rumahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun