Samin kembali menatap Ujang. Ia melihat tatapan Ujang yang nanar. Kesepian itu tampak jelas di mata Ujang. Dan satu satunya keinginan Ujang dalam ransel itu adalah hal paling mengerikan yang pernah Samin lihat.
"Rasmi pergi min. Aku sudah memberikannya uang lebih dari tiga miliar. Kukira dia bisa mencintaiku karena aku sudah membayar pekerja karaoke itu dengan harga yang lebih dari cukup," Ujang menghentikan ucapannya. Ia kembali mengingat lesung pipi Rasmi. Rambut hitamnya yang tergerai dan selalu direbonding. Juga alis sulaman dari salon pinggiran di wajahnya.
Rasmi yang berkulit putih mulus karena pemutih yang dijual online dan tanpa standar kesehatan yang jelas. Rasmi yang sudah mengajarinya menipu Bank. Rasmi, istri siri kelimanya yang sudah tiga tahun mendampinginya menipu. "Tapi dia justru membuang apa yang aku titipkan padanya, yang cuma dia yang bisa menjaga itu di tubuhnya. Dia mengeluarkan itu sebelum waktunya..."
Samin kini merasa iba dengan Ujang. Semua kejahatan yang ia kerjakan, hanya untuk mendapat satu hal. Sesuatu yang saat ini dipegang Samin. Gumpalan daging tak bernyawa yang sering Samin pegang di pasar. Sama beratnya dengan daging sapi dua kilo yang biasa ia timbang. Hanya saja, yang dipegangnya sekarang berbentuk bayi manusia. Lengkap dengan semua alat gerak dan panca indera. Namun tak satupun berfungsi. Karena bayi itu sudah mati.
"Anakku, Â Min..." desis Ujang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H