Ganti menteri ganti kurikulum sepertinya sudah menjadi kebiasaan bangsa kita. Tetapi kebiasaan ini harus dihentikan. Lebih baik menyempurnakan kurikulum yang sudah ada supaya menjadi lebih baik dari pada membuat kurikulum baru. Â
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita (Indonesia) dari tahun 1945 hingga 2024 sudah ada setidaknya 11 Kurikulum pendidikan yang diterapkan. Kurikulum teranyar adalah Kurikulum Merdeka Belajar.
Tetapi pertanyaannya masih tetap sama, apakah kurikulum-kurikulum tersebut mampu menjawabi masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan kita?
Pertanyaan yang gampang gampang sulit. Sebab faktanya, kita masih berkutat dengan masalah rendahnya mutu pendidikan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.Â
Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis pada 5 Desember 2023 lalu memang menunjukkan adanya kenaikan 5 hingga 6 peringkat dibanding 2018 tetapi tetap saja ada penurunan skor. Dan penurunan skor ini dtengarai akibat learning loss selama pandemi.
Masalah yang terjadi adalah ganti menteri ganti kurikulum. Kita tidak pernah mencari tahu di mana akar masalah rendahnya mutu pendidikan kita.Â
Para pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah barangkali menganggap mudah untuk mengaplikasikan kurikulum-kurikulum tersebut kepada anak-anak didik, tetapi para guru-lah yang akan mengalami kesulitan di lapangan.
Persoalannya, para guru belum memahami secara tuntas satu kurikulum, sudah diganti dengan kurikulum yang baru.Â
Dan setiap pergantian kurikulum pasti memerlukan sosialisasi dan pelatihan yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Maka yang terjadi bukan perbaikan mutu pendidikan tetapi pengobrakabrikan mutu pendidikan.
Padahal pembenahan kurikulum yang ada agar menjadi compatible dengan jiwa dan karakter bangsa kita adalah lebih utama dan urgen.
Misalnya setelah pulih dari covid 19, pemerintah mulai gencar mengejar ketertinggalan siswa dengan menghadirkan kurikulum Prototipe yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi Kurikulum Merdeka Belajar sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.Â
Tetapi apakah itu mampu mendongkrak mutu pendidikan kita? Masih sangat bisa diperdebatkan.
Menurut para ahli pendidikan kurikulum merdeka adalah jawaban tepat atas learning loss yang dialami anak-anak didik kita akibat covid 19. Tetapi penerapan kurikulum ini juga menuai pro dan kontra.
Bersamaan dengan itu, Ujian Nasional (UN) ditiadakan atau dihapus. Ya, sejak tahun 2021, Menteri Nadim menghapus UN dan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Banyak pihak senang dengan kebijakan baru kementerian Pendidikan baru kala itu.Â
Tetapi eforia ini tidak diikuti dengan upaya-upaya untuk tetap mempertahankan mutu pendidikan yang selama ini dijaga.Â
Karena itu sekolah seolah-olah hanya menjadi tempat singgah untuk mendapatkan ijazah sebagai bukti bahwa seseorang pernah bersekolah.
Apalagi di dalam kurikulum merdeka tidak dikenal istilah siswa tahan kelas. Ketika seorang siswa sudah duduk di kelas 1 SD, maka akan secara otomatis tahun berikutnya ia akan naik ke kelas 2 dan seterusnya.Â
Belum lagi remedial dan pengayaan yang dilakukan oleh guru-guru hanya seadanya atau hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum.Â
Padahal sudah menjadi tugas guru untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh para siswa yang masih rendah pemahaman literasi dan numerasinya.
Maka tidak mengeherankan apabila ada siswa yang sudah ada di bangku SMP atau bahkan SMA tetapi belum lancar membaca.Â
Bisa dibayangkan, membaca saja masih terbata-bata, lalu pemahaman literasi model apa yang kita harapkan dari keadaan yang demikian dari siswa kita.Â
Barangkali, masalah ini tidak dialami oleh siswa-siswa di kota-kota besar. Tetapi cobalah para pejabat dari pemerintah pusat turun ke kota-kota pedalaman. Keadaan sungguh miris dan memprihatinkan.
Tidak mengherankan apabila para peneliti pendidikan mengatakan bahwa tingkat literasi mahasiswa semester 1 di Indonesia setara dengan anak-anak SMP di negara-negara maju.
Kita memang menginginkan sebuah perubahan yang cepat. Tetapi apabila tidak diikuti dengan perubahan mental yang membawa orang pada kesadaran pentingnya pendidikan, maka kita seperti orang yang berlari kencang tetapi hanya berlari di tempat.
Kita bersyukur bahwa Kemendikbudristek telah dibagi menjadi tiga kemneterian, yaitu kementerian pendidikan dasar dan menengah dipisah dengan kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi, dan kementerian kebudayaan.Â
Dengan demikian kementerian pendidikan dasar dan menengah akan lebih fokus mengurus karut marut pendidikan yang kita hadapi selama ini.Â
Harapannya ada perbaikan yang signifikan dalam pembenahan pendidikan kita.
Kembalikan guru-guru kepada tugasnya sebagai pendidik. Jangan bebani mereka dengan ururusan administrasi yang tiada habisnya.Â
Selain itu guru-guru harus ditingkatkan kesejahteraanya agar mereka fokus saja pada tugasnya sebagai pengajar dan pendidik tanpa harus memikirkan usaha sampingan yang membuat energi mereka terbagi.
Dengan demikian kita mengharapkan semangat mendidik dari para guru semakin meningkat yang imbasnya pada peningkatan mutu pendidikan kita.
Untuk sekolah dasar sebaiknya ketiga aspek utama dalam pendidikan yaitu literasi, numerasi, dan karakter lebih digencarkan. Sebab ketiga aspek tersebut merupakan fondasi untuk pendidikan anak.
Untuk itu, sekolah dasar harus menjadi fondasi yang kokoh untuk penguatan litarsi, numerasi dan karakter. Sebab anak yang tidak memiliki kemampuan memahami dan berhitung tidak akan mampu menguasai ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Guru harus mampu menciptakan lingkungan sekolah yang baik bagi anak untuk dapat belajar dengan tenang dan nyaman.
Sejak 2021 pemerintah selalu mengadakan asesmen literasi dan numerasi serta survei karakter.Â
Maka sudah seharusnya asesmen-asesmen ini dapat membantu pemerintah untuk bisa memetakan program-program strategis guna meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak didik kita yang saja berada di bawah rata-rata.
Asesmen dan survei karakter yang dilakukan memang bertujuan mengetes kemampuan membaca dan memahami teks serta kemampuan matematis siswa dan bagaimana karakter para peserta didik.
Untuk itu solusi yang diambil harus menjawabi masalah-masalah pendidikan kita saaat ini secara tuntas.Â
Solusi yang diambil juga harus memperhatikan ragam budaya, etnis dan latar belakang kemajuan dari setiap provinsi. Apabila masih menyamakan anak-anak kota di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali dengan anak-anak didik di NTT dan Papua, maka itu kekeliruan besar.Â
Program-program yang sampai kepada anak-anak didik harus mampu menjawabi semua perbedaan yang ada. Tentunya untuk anak-anak di desa tidak boleh disamakan dengan anak-anak yang ada di desa.
Memang meningkatkan kualitas pendidikan di suatu daerah tidak semudah kita membalikan telapak tangan. Butuh kerja keras dari semua pihak atau stakeholder yang ada.
Kita tidak harus ganti kurikulum. Apa yang sudah ada ini sebaiknya disempurnakan. Kekurangan-kekurangan yang ada diperbaiki. Sementara itu, hal-hal baik dipertahankan dan diperkuat.
Dengan penyempurnaan dan pematangan yang lebih sungguh terhadap Kurikulum Merdeka Belajar saat ini, Indonesia bisa menjadi bangsa yang cerdas untuk menyongsong Indonesia emas 2045.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI