Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mobilisasi Artis Jadi Caleg, Semoga Tidak Hanya Menjadi Tempat Sampah di Senayan

1 Maret 2024   09:10 Diperbarui: 5 Maret 2024   09:12 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren parpol (partai politik) merekrut para artis untuk menjadi caleg (calon legislatif) sudah sangat masif. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar.

Apabila pencalonan para artis sebagai anggota legislatif hanya didasarkan pada popularitas semata, maka sebenarnya parpol telah menghianati kepercayaan dari masyarakat. Segenap warga masyarakat di negara ini telah memercayakan kaderisasi para politisi bijak dan negarawan sejati kepada parpol.

Bila demi kekuasaan, semua kewarasan ditabrak maka selesai sudah tatanan demokrasi negara ini.

Parpol harus menjaga agar para wakil rakyat yang didudukan di senayan tidak menjadi tempat sampah di mana mereka hanya mendengar keluhan masyarakat tetapi tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari solusi untuk keluhan-keluhan tersebut.

Bukankah tempat sampah hanya berfungsi untuk menampung sampah? Kita harapkan para anghota dewan yang terpilih tidak sekedar menjadi tempat sampah. Tetapi mereka harus kreatif mengolah sampah tersebut dan memberi nilai baru kepadanya. 

Dalam catatan sejarah, gejala para artis terlibat di dalam dunia politik sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak Orde Baru.

Meski demikian, keterlibatan mereka kala itu bukan sebagai caleg melainkan sebagai juru kampanye. Para artis dimobilisasi untuk mendongkrak suara partai.

Tempo mencatat bahwa strategi mobilisasi artis ini menghasilkan dua kemenangan sekaligus. Pertama, memenangkan parpol dan kedua, menanamkan benih artis-artis dan grup  kesenian di berbagai daerah.

Saat ini sudah terjadi perubahan yang cukup signifikan. Para artis tidak saja dimobilisasi untuk menjadi juru kampanye, melainkan direkrut untuk menjadi caleg.

Apakah hal ini bertentangan dengan UUD 1945?

Jawabannya adalah UUD 1945 tidak melarang siapapun menjadi caleg sejauh dia adalah warga negara Indonesia. Dalam hal ini tak terkecuali para artis.

UUD 1945 menjamin bahwa hak dan kewajiban setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.

Sehingga keterlibatan artis dalam pemilu sebagai caleg yang diusung oleh parpol sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Itu adalah hak konstitusional mereka.

Para artis memiliki hak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai caleg.

Barangkali hal yang mau diperdebatkan adalah soal kapabiltas dan kompetensi dari para artis.

Tetapi satu hal yang pasti bahwa sistem pemilu kita saat ini adalah sistem proporsional terbuka. Artinya setiap kandidat harus bersaing untuk memperoleh suara rakyat atau pemilih. 

Kandidat harus berjuang sedemikian rupa memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk medapatkan kursi di DPR.

Karena itu penilaian mampu dan tidak mampu seharusnya dikembalikan ke warga.

Tetapi satu hal yang mengkhawatirkan bahwa pemilih kita seperti piramida. Para pemilih cerdas hanya segelintir orang yang berada di ujung atas piramida. 

Sedangkan 50 hingga 80 persen pemilih masih memilih karena sentimen-sentimen tertentu.

Popularitas para artis telah menghantar mereka ke senayan.

Memang harus diakui, pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah memungkinkan pemilih memiliki kebebasan langsung memilih calon legislatif yang mereka anggap mewakili aspirasi dan kepentingan mereka.

Hal ini menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemilih dengan wakil yang mereka pilih.

Keunggulan para artis yang menjadi caleg adalah popularitas mereka. Itu adalah bonus atau keuntungan untuk mereka.

Memang anggota DPR menjadi satu profesi baru yang banyak diperebutkan. Barangkali karena kerjanya santai tetapi ternyata gaji dan fasilitas yang didapat sangat menggiurkan. Untuk gaji dan tunjangan DPR RI, DPRD I dan II bisa dilihat di dalam UUD 1945 pasal 20A ayat 1.

Apakah para artis tertarik menjadi caleg karena iming-iming gaji dan tunjangan yang besar masih menjadi tanda tanya besar.

Tetapi yang diharapkan, ketertarikan mereka masuk caleg demi memperjuangkan hak-hak rakyat yang selama ini belum terpenuhi.

Apabila niat itu yang mereka bawa ke sana, kinerjanya pasti akan kelihatan.

Di tahun 2019 ada 54 aktor, tokoh televisi, dan musisi mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Jumlah ini belum termasuk selebriti yang mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, wali kota, atau wakilnya.

Sementara tahun ini (2024), sebanyak 82 orang yang bergerak di industri hiburan tanah air yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.

Rupanya parpol-parpol berlomba-lomba menggaet artis sebagai calon legislatifnya (Kompas.com).

Tantangan untuk para artis


Para artis yang lolos ke senayan pada akhirnya akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. 

Hal ini disebabkan karena pengalaman di dunia keartisan mereka tidak cukup menyiapkan mereka untuk terjun ke dunia politik.

Apalagi pemahaman mereka soal politik dan public policy sangat terbatas. 

Dengan kata lain dunia keartisan mereka tidak menyiapkan mereka untuk memiliki kemampuan yang cukup dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.

Memang tidak dipungkiri ada artis-artis yang mengolah insting politik mereka di dalam sekolah-sekolah partai. Tetapi ada juga yang muncul secara instan. Politisi-politisi instan inilah yang dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk bagi usaha-usaha untuk memajukan negara dan bangsa.

Hal ini yang harus dipertanggungjawabkan oleh partai-partai politik pengusung para kandidat ini ketika mereka lolos ke Senayan.

Jadi sebenarnya bila seorang artis memilih untuk masuk parlemen, dia sudah harus selesai dengan dirinya. Sehingga ketika memilih untuk terjun ke dunia politik, ia dapat membuat suatu perubahan atau setidak-tidaknya kehadirannya dapat memberikan manfaat bagi lebih banyak warga.

Diharapkan nantinya mereka bisa memberi pembeda terutama ketika berbaur dengan para politis senior yang sudah malang-melintang di dunia perpolitikan nasional.

Sebagai warga negara Indonesia, para artis pun memiliki hak dan kewajiban yang sama yang telah diatur oleh UUD 1945.

Tetapi soal maju sebagai caleg bukan sekedar mengandalkan popularitas semata tetapi seseorang harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang cukup. Sehingga nantinya dapat melaksanakan tugas sebagai anggota dewan dengan baik dalam membuat UU atau peraturan daerah, menyusun anggaran, dan mengawasi eksekutif dalam menjalankan amanat UU.

Akhirnya catatan untuk parpol di pemilu yang akan datang, jangan merekrut artis hanya untuk mendongkrak suara partai. Tetapi lihat keunggulan serta kompetensinya.

Sebab sebagai wakil rakyat, mereka harus menjadi penyambung suara tuan mereka yaitu rakyat. Jangan sampai mereka hanya datang, duduk, diam, dan akhir bulan semua gaji dan tunjangan masuk ke rekening.

Kita mengharapkan para artis yang lolos ke senayan, dapat berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Semoga mereka tidak sekedar menjadi tempat sampah di senayan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun