Hukuman mati di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan tetapi di sisi lain merupakan pelanggaran HAM.
Tentu kita bersepakat bahwa para pelaku kejahatan mesti dihukum seberat-beratnya. Namun kita juga tidak mempunyai hak untuk mencabut nyawa orang atas nama hukum.
Karena itu, marilah kita mempersoalkan hukuman mati atau pidana mati yang masih termuat dalam KUHP kita.
Banyak pihak begitu puas dan bersorak gembira tatkala Sambo dijatuhi vonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana Josua Hutabarat.
Semua orang puas sebab apa yang menjadi tuntutan keluarga dan masyarakat umum agar Sambo dihukum dengan hukuman maksimal terjawab sudah.
Hukuman itu sudah memenuhi ekspektasi umum atau khalayak ramai. Hukuman mati menurut khalayak ramai adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatan Ferdi Sambo.
Selain melakukan pembunuhan berencana kepada ajudannya sendiri, mantan Kadiv Propam Polri itu juga didakwa telah mencoreng institusi Polri yang telah membesarkan namanya tersebut dan menyebabkan beberapa perwira dan bawahannya ikut terjebak di dalam pusaran kasusnya.
Hukuman ini ternyata lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) beberapa waktu lalu.
Namun pertanyaan yang patut dilayangkan kepada khalayak, apakah masih pantas menghukum orang dengan hukuman mati?
Bukankah dengan bergembira dan bereuforia atas hukuman mati terhadap Sambo, kita secara tidak sadar telah menempatkan diri sejajar dengan Sambo, yaitu sebagai pembunuh?