Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gerakan Literasi Sekolah dan Taman Baca Masyarakat, Jalan Lain Menuju Indonesia Bebas Buta Aksara

3 Februari 2023   11:46 Diperbarui: 4 Februari 2023   10:00 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak-Anak SD sedang membaca. Kompas.com

Tidak berlebihan jika GLS (Gerakan Literasi Sekolah) dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dikatakan sebagai dua aktivitas yang merupakan jalan lain dari pemerintah dan masyarakat untuk mengentaskan buta aksara.

Beberapa waktu terakhir buta aksara kembali menjadi diskursus hangat. Padahal seharusnya bangsa kita sudah bebas dari belunggu ini dan harus segera melesak jauh menuju cakrawala kemajuan.

Angka buta aksara kita secara nasional masih berada di kisaran 1, 78 % atau sekitar 2,7 hingga 2,9 juta penduduk dari jumlah penduduk nasional yang ada saat ini.

Hal ini membuat pemerintah harus terus bekerja keras agar target menekan buta aksara hingga di bawah 1 persen di tahun 2024 bisa tercapai.

Sampai dengan saat ini, ada 6 wilayah yang masih memerlukan penanganan serius untuk memberantas buta aksara. Enam wilayah itu adalah Papua dengan persentase buta aksaranya 21,9, Nusa Tenggara Barat (NTB) 7,46, Nusa Tenggara Timur (NTT) 4,24, Sulawesi Selatan (Sulsel) 4,22, Sulawesi Barat (Sulbar) 3,98, dan Kalimantan Barat (Kalbar) 3,8.

Masalahnya bukan karena pemerintah hanya berpangku tangan. Tapi pokok masalah terbesarnya terletak pada kurangnya minat masyarakat akan budaya literasi.

Banyak upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Hanya saja banyak kendala juga yang masih ditemukan.

Papua dan Nusa Tenggara serta beberapa daerah di atas masih harus berkutat dengan masalah buta huruf. Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi penyebabnya adalah masih banyaknya daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Itu masalah lain.

Tetapi faktor utamanya adalah penyebaran fasilitas serta sarana-prasarana yang belum menjangkau sekolah-sekolah di pedalaman.

UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cutural Organization) mencatat, Indonesia berada di urutan ke-58 negara yang belum bebas buta aksara.

Sementara itu, data buta aksara secara global yang dikeluarkan lembaga dunia tersebut menunjukkan bahwa masih ada sekitar 700 juta orang dewasa  di dunia buta huruf.  Dari 700 juta itu, 2,7 sampai 2,9 juta orang disumbangkan oleh Indonesia.

Angka buta aksara ini masih didominasi oleh golongan tua. Meski demikian masih banyak juga anak-anak di daerah-daerah terpencil yang belum bisa merasakan apa itu sekolah. Tetapi angka ini terus ditekan dengan berbagai upaya sehingga terus mengalami penurunan hingga saat ini.

Tetapi persoalan kita bukan pada masalah buta aksara melainkan masalah lemahnya minat baca masyarakat.

Masih dari UNESCO, kita termasuk negara yang warganya memiliki tingkat literasi yang rendah.  Banyak masyarakat yang malas membaca.

Mungkin hal ini berangkat dari asumsi sebagian masyarakat yang melihat kegiatan membaca sebagai kegiatan membuang-buang waktu. Menurut mereka, toh yang dibutuhkan untuk hidup adalah kerja. Untuk apa membuang waktu untuk membaca.

Ini adalah suatu fallacy atau kesesatan dalam berpikir . Sebab justru dengan banyak membaca, pikiran orang menjadi aktif. Ide-ide dari bahan-bahan bacaan yang dibaca lambat laun akan mempengaruhi cara berpikir, cara bertindak, dan cara berperilaku.

Pikiran inovatif yang muncul, salah satunya bersumber dari banyak membaca. Apalagi membaca hal-hal baru yang sesuai dengan minat dan bakat. Bukankah akan menambah wawasan dan membuat seseorang semakin inovatif?

Pendidikan di bangku sekolah juga mengarahkan orang untuk memiliki kemampuan literasi yang baik. Bukankah pendidikan terutama bertujuan membuat para siswa sadar akan akar mereka sendiri dan memberikan titik acuan yang memungkinkan mereka mampu menjelaskan ruang pribadi mereka sendiri di dunia?

Banyak mata pelajaran yang dulu diajarkan di sekolah yang tampaknya seperti mubazir bagi kita saat ini, tetapi sesungguhnya, sadar tidak sadar semua itu telah terpendam di bawah alam bawah sadar dan keluar sebagai pikiran, tindakan dan perbuatan kita saat ini.

Dengan melakukan proses literasi yang baik dan selalu dikaitkan dengan minat dan bakat, akan mendorong kemauan yang cukup besar bagi setiap individu untuk bisa mencapai target yang diimpi-impikan.

Langkah pemerintah untuk menjalankan berbagai macam program dan kegiatan untuk menuntaskan buta aksara memang patut diapresiasi.

Tapi program dan kegiatan tersebut harus disertai dengan penguatan kegiatan literasi sehigga bukan saja buta aksaranya dihapuskan dari bumi pertiwi tetapi juga kemampuan berliterasi kita sebagai bangsa semakin meningkat.

Menekan angka buta aksara tetapi tidak mendongkrak minat baca tidak memiliki arti apa apa..

Satu hal yang paling utama adalah bukan berbicara tentang pemberantasan buta huruf, tetapi bagaimana menaikan level literasi bangsa.

Salah satu upaya membiasakan gerakan literasi ini adalah dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan Literasi sekolah ini sebenarnya sudah menjadi gerakan nasional  sejak 2015, tapi benarkah semua sekolah secara konsekuen dan rutin membuat itu, perlu ada survei lebih lanjut.

Kita harus mengakui bahwa GLS merupakan tonggak baru upaya pemerintah dalam meningkatkan budaya baca di lingkungan sekolah.

GLS merupakan sebuah gerakan dalam upaya menumbuhkan budi pekerti siswa yang bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat.

Gerakan literasi di sekolah-sekolah yang mengambil waktu 10 menit hingga 15 menit di waktu jam pertama selain dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan menyimak, menulis, membaca, dan berbicara tetapi merupakan sebuah stimulan bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan literasinya secara baik.

Ada 3 tahapan dalam GLS. Tahap pertama tahap pembiasaan. Siswa dibiasakan untuk membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai atau 15 menit menjelang pelajaran berakhir. Pada tahap pertam, siswa didorong untuk membiasakan diri membaca. Pembiasaan ini bila dilakukan secata rutin maka diharapkan akan tercipta otomatisasi sehingga jika tidak membaca siswa akan merasa seperti ada sesuatu yang kurang.

Tahap kedua, siswa didorong untuk menunjukkan keterlibatan pikiran dan emosinya dalam proses membaca. Inilah yang dinamakan proses internalisasi bahan bacaan. Pada tahap ini, membaca bukan hanya sebagai sebuah kegiatan asal-asalan tetapi lebih mengarah kepada pembatinan bahan bacaan agar bisa memberi dampak kepada cara berpikir, bertindak dan bertingkah laku.

Tahap ketiga, literasi sebagai bagian dari pembelajaran yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kurikulum sekolah. Tahap ini sudah melibatkan proses belajar untuk menyukseskan kurikulum.

Meski demikian GLS harus dipahami sebagai sebuah gerakan yang bersifat stimulatif. Sebab pendidikan formal hanya berlangsung dalam waktu yang terbatas. Sedangkan pendidikan sesungguhnya itu berlangsung sepanjang hayat.

Dengan gerakan literasi sekolah, minat baca tulis siswa akan terus terbawa dan menjadi kebiasaan yang membudaya. Harapannya budaya literasi yang telah terbangun membuat proses belajar itu tidak serta merta terhenti setelah selesai pendidikan formal tetapi berlangsung secara kontinu dalam segala aspek kehidupan hingga akhir hayat.

Di samping itu GLS mempunyai tujuan jangka pendeknya yaitu menumbuhkan budaya literasi sekolah dan meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat.

Selain Gerakan Literasi Sekolah, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang didirikan dimana-mana saat ini merupakan salah satu cara mendekatkan bahan-bahan bacaan kepada masyarakat.

Untuk itu keberadaan TBM-TBM ini harus memberi dampak yang sungguh nyata bagi lingkungan sekitar. TBM yang sudah terbentuk harus mulai unjuk gigi dan menjadi promotor untuk menggerakan minat baca masyarakat.

Kabar gembiranya bahwa TBM-TBM ini memiliki sebuah wadah berhimpun dan berorganisasi, maka dibentuklah Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM).

Keberadaan forum ini ditujukan bagi para pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM), pegiat literasi, komunitas dan masyarakat yang mempunyai satu ikhtiar bersama mengembangkan gerakan literasi tanah air.

Dari sini bisa dilihat bahwa gerakan literasi ini bukanlah gerakan dari satu pihak saja. Gerakan ini merupakan satu gerakan bersama oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk satu tujuan yaitu mengembangkan literasi tanah air.

Semangat literasi ini merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan Indonesia di masa yang akan datang.

Kemampuan literasi yang semakin meningkat akan menjadi penopang utama untuk keberhasilan target yang sudah dicanangkan pemerintah yaitu Indonesia maju di tahun 2045.

Orang yang ingin mencapai kesuksesan di era revolusi industri seperti saat ini harus menjadikan proses literasi sebagai yang paling utama.

Peran literasi sebagai penopang utama kemajuan umat manusia sudah teruji. Cobala bercermin kepada bangsa-bangsa maju seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika, dan negara-negara Eropa yang memiliki masyarakat dengan budaya literasi yang sangat tinggi dan terpelihara dengan baik. Kemampuan literasi masyarakatnya telah menjadi penentu kemajuan bangsa mereka.

Sudah saatnya, kita menjadi bangsa pembelajar yang baik agar cita-cita kita sebagai bangsa yang maju dapat segera terwujud.

Sebuah bangsa hanya bisa sampai sebuah ke sebuah titik kesuksesan bila mampu memecah tembok kebodohan yang hanya bisa diatasi lewat budaya literasi yang baik.

Salam Indonesia maju!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun