Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benang Kusut dalam Perppu Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022

12 Januari 2023   09:32 Diperbarui: 12 Januari 2023   13:57 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo para buruh menyikapi Omnibus Law Cipta Kerja pada November 2020 lalu. Sumber: bisnis.tempo.co

Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi selalu mengatakan bahwa ekonomi Indonesia mengalami perkembangan ke arah trend yang positif.

Tapi kenyataannya tidak demikian. Perkembangan ekonomi Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ada beberapa krisis yang terus membayangi keadaan ekonomi negara. 

Hal ini bisa terlihat dari kepanikan pemerintah akhir tahun lalu yang secara cepat-cepat mengesahkan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022.

Pemerintah beralasan bahwa Perppu ini adalah sebagai langkah antisipasi situasi krisis global yang sedang mengancam akibat perang Ukraina yang tidak tahu kapan berakhir.

Padahal sebagaimana kita tahu bersama UU Cipta kerja sedang dalam tahap perbaikan. MK (Mahkama Konstitusi) telah memutuskan bahwa UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 cacat secara formil karena proses dan substansinya bermasalah. Keputusan itu mengatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan jangka waktu dua tahun harus diperbaiki.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan omnibus law yang mengatur perubahan peraturan di berbagai sektor dengan maksud untuk memperbaiki iklim investasi dan mewujudkan kepastian hukum.

Jadi mengapa tidak fokus memperbaiki dulu cacat formil UU Cipta Kerja yang ada, malah pemerintah menerbitkan Perppu.

Di sisi lain, prasyarat utama sebuah Perppu dikeluarkan adalah kegentingan yang memaksa. Nah, beberapa pengamat ekonomi melihat bahwa saat ini belum ada sebuah situasi genting yang memaksa untuk dikeluarkan sebuah Perppu.

Mereka menilai ekonomi Indonesia masih aman bila merujuk pada pernyataan Presiden di hadapan para pemimpin dunia pada KTT G20 November lalu di Bali. 

Bahkan oleh beberapa pihak disinyalir Perppu Cipta kerja merupakan peraturan titipan dari para investor yang menghendaki kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia.

Setelah disahkan akhir Desember lalu, Perppu ini langsung menuai protes dari berbagai pihak. Protes itu di antaranya datang dari OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), Partai Buruh, KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), dan Organisasi serikat buruh dan Petani.

Melalui Sekjennya Timboel Siregar, OPSI memberikan kritik tajam kepada pemerintah yang telah menerbitkan Perppu ini. Menurut OPSI, Perppu nomor 2 ini merupakan suatu produk hukum yang tidak konsisten dengan UUD 1945, ketentuan yuridis dan kondisi objektif di masyarakat.

Sementara itu, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menanggapi pertanyaan wartawan, menyatakan menolak isi dari Perpu No 2 Tahun 2022 tantang Cipta Kerja atau Perppu Cipta kerja.

Ada beberapa hal yang bermasalah dalam Perppu cipta kerja tersebut menurut Said. Terutama dalam pasal 88 secara khusus 88D dan 88F terkait upah minimum dan beberapa persyaratan soal ketentuan upah minimum.

Sedangkan dari pihak pemerintah, melalui Menteri Perekonomian Airlangga Hartato menyatakan bahwa Perppu cipta kerja dikeluarkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai perkembangan situasi terkini baik domestik maupun global.

Ada du hal yang memaksa pemerintah mengeluarkan dan mensahkan Perppu No. 2 Tahun 2022 Cipta Kerja.  

Pertama, ada kebutuhan mendesak di mana pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap keadaan global antara lain ancaman resesi, peningkatan inflasi dan stagflasi.

Keadaan global yang berdampak negatif bagi masa depan perekonomian dunia itu disebabkan oleh Pandemi Covid 19, perang Rusia-Ukraina, dan berbagai konflik yang belum selesai. Kondisi krisis ini bagi negara-negara berkembang sangat nyata.

Dampak perang misalnya berimbas kepada  krisis pangan, krisis energi, keuangan, dan perubahan iklim.

Kedua menurut Airlangga, Perppu no. 2 tentang Cipta Kerja berkaitan dengan keberlanjutan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang diyakini sangat memengaruhi perilaku dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri.

Perppu nomor 2 Tahun 2022 katanya, berperan untuk mengisi kepastian hukum dari UU Cipta Kerja yang masih terus disempurnakan sesuai dengan keputusan MK.

Hal senada diungkapkan juga oleh Menkopulhukan, Mahfud MD. Menurutnya Perppu No. 2 Tahun 2022 ini memang patut dikeluarkan oleh pemerintah sebab situasi mendesak dan genting sebagai akibat dari perang Ukraina yang sangat mempengaruhi secara global maupun nasional negara-negara lain termasuk Indonesia.

Menarik memang. Hanya saja Perppu ini ternyata membawa serta beberapa persoalan sebagaimana yang dikritisi oleh OPSI, Serikat Pekerja Indonesia dan beberapa organisasi buruh di atas.

Dari sisi usaha dan investasi, hadirnya Perppu Cipta Kerja No 2 Tahun 2022 telah memberikan kemudahan yang cukup signifikan. Demikian juga dengan kepastian hukum sudah terjawab di tengah ketidakyakinan karena masih diombang-ambingkan oleh UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020.

Tetapi pada saat yang sama para pekerja dihadapkan pada situasi yang sangat riskan sebab hak-hak mereka untuk mendapatkan upah yang layak seolah-olah dikerangkengkan dalam kepentingan usaha dan investasi semata. Padahal jalannya sebuah usaha sangat tergantung kepada para pekerjanya.

Banyak pihak menilai bahwa pemerintah melalui Perppu no.2 ini seolah-olah memberikan perlindungan lebih kepada perusahaan-perusahaan tapi mengabaikan rasa keadilan bagi para pekerja.

Dari sisi yuridis, kehadiran Perppu ini juga telah menggugurkan status inkonstitusional bersyarat dari UU Cipta Kerja yang telah diputuskan oleh MK. Kelihatanya ada tumpang tindih antara Perppu Cipta Kerja dengan UU Cipta kerja yang sedang dikerjakan perbaikannya oleh legislatif dan pemerintah.

Hal ini telah menimbulkan persoalan lain berhubungan dengan keberadaan tiga lembaga negara yang berkuasa, yaitu antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 

OPSI menilai bahwa dengan mengesahkan Perppu tersebut, pemerintah dengan sendirinya telah mengesampingkan budaya hukum yang baik sebab telah menggunakan kekuasaannya untuk menihilkan keputusan MK (yudikatif).

Dengan demikian, Perppu no 2 ini telah menciptakan kerenggangan di antara tiga lembaga kekuasaan yang mengontrol jalannya negara ini, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Benang kusut ini yang harus segera diurai pemerintah. Kemudahan membuka usaha dan investasi memang sangat penting untuk menggenjot laju pertumbuhan perekonomian, tapi pemerintah tidak boleh lupa akan nasib para buruh dan pekerja. 

Sementara itu pertanyaan yang masih menggantung, bagaimana nasib perbaikan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020? Ini sangat erat kaitannya dengan fungsi legislasi dari para legislator dan fungsi MK sebagai salah satu lembaga yudikatif di samping Mahkama Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun