Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sebelum Ganti Sistem Pemilu, Ubah Dulu Mental Kita yang Korup

9 Januari 2023   19:38 Diperbarui: 10 Januari 2023   09:16 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terminologi Korup yang digunakan dalam tulisan ini tidak merujuk kepada kata korupsi yang seakan sudah sangat familiar di telinga sebagai akibat dari kasus korupsi yang saban hari terus menghangatkan berita di tanah air.

Dalam KBBI online kata korup berarti, pertama, buruk dalam arti rusak atau busuk, kedua suka memakai barang yang dipercayakan kepadanya. Untuk diskursus kali ini saya menggunakan arti yang pertama.

Sementara itu mental sendiri oleh KBBI online didefenisikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan batin atau watak manusia.

Maka mental korup bisa diartikan sebagai batin atau watak manusia yang sudah rusak atau mengalami pembusukan.

Dalam hubungan dengan demokrasi, mental yang korup sangat erat kaitannya dengan mental berdemokrasi yang sudah rusak.

Mental berdemokrasi yang rusak itu ditandai dengan masih tingginya money politics yang menjadi andalan dari para calon legislatif.

Bahkan saat ini hampir seluruh masyarakat Indonesia menjadi mahfum, bila ingin menjadi anggota dewan harus punya banyak uang.

Uang adalah syarat mutlak. Sebab uang itu yang akan dipakai untuk membeli suara para pemilihnya dan untuk memberi suap kepada partai yang akan menjadi kenderaan politiknya.

Akhirnya semua janji politik yang disampaikan saat kampanye hanya sampai pada wacana pemanis mulut.

Setelah menjadi anggota legislatif yang dipikirkan adalah bagaimana mengeruk uang masuk ke saku pribadi dan partai politiknya.

Tujuan orang menjadi anggota dewan bukan lagi untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya tapi untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan partai pengusungnya.

Tidak heran, banyak anggota legislatif yang suka melakukan studi banding yang hanya sekedar menghabiskan uang negara tanpa diikuti kerja nyata. Bahkan  ada yang main proyek untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya demi pemilu berikutnya.

Sementara dari sisi para pemilih, mental korup ini dapat terlihat pada bagaimana mudahnya mereka dibeli dengan uang. Kualitas dan kemampuan para calon legislatif dikesampingkan, yang diutamakan adalah berapa duit yang bisa diberikan.

Mental yang sudah korup ini menyebabkan model demokrasi apa pun yang dipakai di negara ini selalu terasa tidak cocok.

Tidak mengherankan bila beberapa pengamat politik berpendapat bahwa model demokrasi kita adalah demokrasi kebablasan. Demokrasi model apa pun yang diterapkan akan menemui kebuntuan karena banyak masalah yang timbul dari sana.

Kita telah mengadopsi berbagai macam sistem demokrasi yang kita anggap sesuai dengan mental bangsa ini, namun faktanya jauh panggang dari api.

Beberapa sistem demokrasi sudah diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara ini tapi hasil yang diharapkan masih jauh dari yang diharapkan bersama.

Sejarah bangsa ini telah mencatat bahwa demokrasi parlementer sudah pernah dilaksanakan di Indonesia dari 1945-1959. Demikian juga demokrasi terpimpin yang diterapkan dari 1959-1965. Demokrasi Pancasila selama orde baru dari 1965-1998 dan demokrasi reformasi dari 1998 hingga saat ini.

Sementara untuk sistem pemilu, kita sudah menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka.

Sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999.

Sedangkan sistem proporsional terbuka diterapkan dalam pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Sistem proporsional terbuka ini awalnya diharapkan sebagai sistem yang paling bagus untuk negara kita yang plural. Tapi kenyataannya tidak seperti harapan awal tersebut.

Terlalu banyak praktek-praktek inkonstitusional yang terdapat di dalam sistem proporsional terbuka tersebut. Di antara semua itu, money politics sebagaimana telah disebutkan di atas menempati tempat utama dari semua praktek inkonstitusional itu.

Meski demikian kita harus berbesar hati bahwa masih ada orang-orang baik di antara para wakil rakyat tersebut. 

Tetapi apa gunanya mereka yang baik itu jika harus melawan kekuatan dan suara mayoritas di lembaga negara tersebut yang lebih mengutamakan pribadi dan kelompoknya sendiri.

Semoga judicial review yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MA atas UU no 7 tahun 2017 bisa mengurai benang kusut sistem pemilu kita saat ini.

Ada banyak hal diangkat oleh Perludem untuk ditinjau oleh MK, misalnya apakah sistem pemilu mau tetap proporsional terbuka atau tertutup atau menggunakan sistem pemilihan distrik seperti Amerika Serikat dan beberapa negara lain yang menggunakan sistem itu. 

Sementara itu, hal lain yang digugat adalah soal ambang batas parlemen, apakah mau dinaikkan atau diturunkan.

Kita menyambut baik usaha dan niat Perludem tersebut namun yang diperlukan saat ini adalah sebuah kesadaran kolektif untuk mengubah mental kita yang sudah rusak. 

Untuk itu yang juga mesti di-judicial review yaitu mental kita yang korup. 

Suatu refleksi yang sungguh-sungguh mesti dilakukan oleh seluruh komponen bangsa ini guna menemukan problem dasar dari cara kita berdemokrasi.

Kita terlanjur memiliki mental rusak yang telah membudaya. Dan untuk bisa beranjak dari sana, dibutuhkan kesadaran bersama untuk bergerak melawan dan menyongsong perubahan ke arah yang lebih baik.

Perubahan itu haruslah total dan mencakupi segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mental busuk dan rusak yang sudah melekat dan mengakar dalam budaya bangsa ini harus dihancurkan dengan sebuah revolusi total. Kemudian barulah ditata ulang supaya kita bisa bergerak maju menjemput Indonesia emas di 2045. 

Revolusi mental yang telah digencarkan oleh Presiden Jokowi sejak menjadi pemimpin negeri tidak hanya berhenti di wacana. Tetapi benar-benar diejawantahkan di semua lini kehidupan.

Selama kita memiliki niat baik untuk menjadikan bangsa kita semakin maju, maka pasti semuanya akan berjalan baik.

Karena itu, tugas yang paling utama bukan mengubah sistem demokrasi atau sistem pemilunya tetapi mengubah mental kita yang sudah korup ini.

Selain itu, kita pun membutuhkan pemimpin memiliki karakter yang kuat (strong leader) agar bisa memimpin bangsa ini membenahi mental yang sudah korup ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun