Itu baru satu komoditas. Masih ada komoditas lain yang harganya juga ikut naik gila-gilaan tapi tidak diberitakan secara masif seperti minyak goreng karena barangkali nilai beritanya kalah dibandingkan dengan minyak goreng.
Harga terigu yang dulunya bergerak fluktuatif dari Rp 120.000 hingga Rp 160.000-an per sak, kini telah melonjak menjadi per sak Rp 200.000 hingga Rp 220.000.
Jadi kelihatan sekarang, satu saja komoditas sembako atau apa pun itu yang harga mulai naik, akan memberi dampak pada komoditas lainnya.
Dan seperti biasa selalu saja ada yang coba bermain di air yang keruh. Ada yang memanfaatkan ini untuk mengeruk keuntungan dari situasi yang tidak menguntungkan ini.
Pemerintah sampai kewalahan. Ketika pemerintah mengeluarkan aturan satu harga untuk minyak goreng, para pengusaha nakal ini menahan stock yang ada.
Ketika harga kembali di lepas kepada dinamika pasar, stock yang mereka tahan dilepas kembali. Permainannya rapih sampai pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak.
Memang serba dilematis. Pengusaha tidak mau merugi. Sementara rakyat menjerit.
Dalam situasi serba dilematis ini negara mesti hadir memberi kepastian, agar semua pihak tidak ada yang dirugikan.
Menurut pemerintah, ada faktor yang menjadi alasan mengapa minyak goreng mahal.
Pertama, faktor eksternal, yaitu meningkatnya permintaan global akan bahan bakar nabati atau biofuel berbasis minyak sawit. Ini jelas sangat memengaruhi produksi minyak goreng.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan peningkatan pangsa produksi crude palm oil (CPO) untuk bahan bakar nabati sebesar 24 persen yang terjadi dari 2019 hingga 2020 merupakan pemicu kelangkaan minyak goreng yang diikuti dengan harga yang melambung.