Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ternyata Ini Dua Faktor Penyebab Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi

9 April 2022   14:34 Diperbarui: 9 April 2022   18:20 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbagai minyak goreng di pasaran. Sumber: JPNN.com

Pemerintah akhirnya mengakui bahwa ada dua faktor yang menyebabkan harga minyak goreng naik begitu tingginya.

Tetapi sebelumnya, harus saya akui bahwa menulis tentang kenaikan harga minyak goreng yang hampir dua kali lipat di pasaran saat ini memang menarik dan seksi. Sebab, kenaikan ini sadar tidak sadar telah berdampak kepada berbagai sisi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan para pelaku UMKM.

Banyak sekali kompasiener yang telah mengulas, menganalisis dan bahkan mengkritisi harga minyak goreng yang meroket dan dilepas bebas kepada pasar.

Begitu pula pemerintah telah melakukan daya upaya untuk menekan kenaikan harga minyak goreng yang tidak wajar itu. Pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga di seluruh Indonesia.

Akan tetapi, kebijakan itu ternyata tidak berhasil. Pemerintah kembali mencabut HET minyak goreng dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan "kalah" dari para pengusaha minyak goreng yang dengan cerdik menahan hasil produksinya sehingga terjadi kelangkaan di mana-mana.

Setelah kebijakan mencabut HET minyak goreng, barang itu kembali melimpah di pasaran. Hanya saja harganya terlampau tinggi.

Keprihatinan besar adalah kepada para pedagangan kuliner yang salah satu bahan atau bahan utamanya minyak goreng. Mereka menjerit. Pedagang gorengan terpaksa harus menghitung ulang biaya produksinya dengan hasil penjualannya agar tidak merugi.

Efek domino pada kenaikan harga minyak goreng ini akan merambat ke mana-mana. Dengan demikian usaha UMKM yang baru saja mau bangkit, akhirnya jatuh tersungkur lagi.

Usaha tentu harus tetap jalan. Namun harus dengan kalkulasi matang agar usaha tidak gulung tikar. Berhenti usaha bukan pilihan bijak.

Kartu truf itu tetap ada pada pemerintah. Kelambatan dalam menangani masalah ini akan memiliki konsekuensi lebih besar pada segala lini kehidupan bernegara kita.

Salah satu pelaku usaha warung makan ayam goreng  asal Pabean-Sukoharjo misalnya, mengeluh bahwa sudah dua bulan sejak harga minyak goreng naik membuat biaya produksinya ikut naik. Sedangkan penjualan stabil bahkan cenderung menurun.

Atau kisah lain salah satu pelaku usaha krupuk di kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang seperti yang dikutip dari Tribun-Video.com, memutuskan berhenti produksi akibat harga minyak goreng terlampau tinggi. Akibat lanjutnya adalah beberapa karyawan yang dipekerjakannya harus dirumahkan pula.

Banyak yang mengeluh sebab usaha mereka merugi sejak harga minyak naik. Kalau disiasati dengan menaikan harga hasil produksi sudah pasti pembelinya menurun dan bisa jadi tidak ada yang beli.

Harga minyak goreng sebelumnya perliter Rp 14.000 sekarang menjadi Rp 25.000 bahkan di daerah-daerah lain perliternya sudah menjadi Rp 30.000 bahkan untuk minyak kemasan tertentu sudah menyentuh Rp 50.000 an perliter.

Kondisi pandemi Virus Corona yang belum berakhir plus kenaikan harga minyak goreng jelas sangat berpengaruh pada usaha pelaku UMKM terutama UMKM yang bergerak di sektor kuliner.

Naiknya harga minyak goreng mengakibatkan biaya produksi menjadi tidak sesuai. Karena itu solusi yang tepat sasar harus dicari sehingga usaha para pelaku UMKM tetap berjalan dan ekonomi tetap bertahan.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), M. Ikhsan Ingratubun kepada Kumparan mengatakan bahwa ada sekitar 35 persen dari total UMKM terdampak kenaikan komoditas tersebut.

Menurutnya, minyak goreng termasuk ke dalam komoditas ketahanan pangan. Membiarkan minyak goreng diserahkan kepada dinamika pasar adalah keliru karena produsen bisa semena-mena menentukan harga.

Kenaikan harga minyak yang tiba-tiba sebagai akibat pencabutan HET oleh pemerintah memang sangat memberatkan.

Padahal UMKM kita baru saja akan bangkit karena pemerintah berhasil menangani Covid-19. Tapi kenaikan produk sembako seperti minyak goreng secara tiba-tiba beberapa waktu lalu memberi dampak negatif bagi tumbuh kembang UMKM.

Kalau hanya untuk goreng-menggoreng di rumah tangga, kita boleh saja mencontohi demo memasak tanpa minyak Ibu Megawati. Tetapi kalau untuk usaha, spertinya demo memasak itu mesti kita kesampingkan.

Itu baru satu komoditas. Masih ada komoditas lain yang harganya juga ikut naik gila-gilaan tapi tidak diberitakan secara masif seperti minyak goreng karena barangkali nilai beritanya kalah dibandingkan dengan minyak goreng.

Harga terigu yang dulunya bergerak fluktuatif dari Rp 120.000 hingga Rp 160.000-an per sak, kini telah melonjak menjadi per sak Rp 200.000 hingga Rp 220.000.

Jadi kelihatan sekarang, satu saja komoditas sembako atau apa pun itu yang harga mulai naik, akan memberi dampak pada komoditas lainnya.

Dan seperti biasa selalu saja ada yang coba bermain di air yang keruh. Ada yang memanfaatkan ini untuk mengeruk keuntungan dari situasi yang tidak menguntungkan ini.

Pemerintah sampai kewalahan. Ketika pemerintah mengeluarkan aturan satu harga untuk minyak goreng, para pengusaha nakal ini menahan stock yang ada.

Ketika harga kembali di lepas kepada dinamika pasar, stock yang mereka tahan dilepas kembali. Permainannya rapih sampai pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak.

Memang serba dilematis. Pengusaha tidak mau merugi. Sementara rakyat menjerit.

Dalam situasi serba dilematis ini negara mesti hadir memberi kepastian, agar semua pihak tidak ada yang dirugikan.

Menurut pemerintah, ada faktor yang menjadi alasan mengapa minyak goreng mahal.

Pertama, faktor eksternal, yaitu meningkatnya permintaan global akan bahan bakar nabati atau biofuel berbasis minyak sawit. Ini jelas sangat memengaruhi produksi minyak goreng.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan peningkatan pangsa produksi crude palm oil (CPO) untuk bahan bakar nabati sebesar 24 persen yang terjadi dari 2019 hingga 2020 merupakan pemicu kelangkaan minyak goreng yang diikuti dengan harga yang melambung.

Tingginya  harga tersebut disebabkan oleh kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan di banyak bagian dunia.

Di samping itu, invasi Rusia ke Ukraina semakin menambah ketidakpastian kondisi minyak dan perekonomian dunia secara umum.

Kedua, faktor internal dalam negeri. Kelangkaan pasokan di dalam negeri disebabkan oleh menurunannya produktivitas perkebunan sawit milik BUMN.

Dari kedua faktor ini, pemerintah lalu memberikan solusi. Pemerintah akan segera mencairkan bantuan langsung tunai atau BLT minyak goreng senilai Rp 300.000 untuk tiga bulan, atau Rp 100.000 per bulan.

BLT minyak goreng tersebut akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang gorengan, dengan total anggaran Rp 6,9 triliun

Namun pertanyaan besarnya, benarkah ini solusi yang diharapkan masyarakat?

Oleh sebagian pihak, solusi instan ini masih diragukan menjadi jalan penyelesaian masalah yang ada saat ini. Banyak yang masih belum percaya kepada pemerintah untuk bisa memegang amanat dalam hal pemberian bantuan sosial ini.

Ada yang berpendapat, rakyat saat ini tidak butuh BLT itu. Rakyat butuh harga minyak goreng turun. Sebab ada kecurigaan, BLT ini bisa menjadi gudang korupsi baru.

Selain itu, ada kecurigaan juga bahwa BLT ini hanya untuk meninabobokan rakyat miskin sehingga tidak banyak protes soal harga minyak ini.

Sekedar mengingatkan, BLT ini punya jangka waktu. Sedangkan harga minyak goreng akan terus bertahan.

Jadi sebaiknya jangan BLT dulu tapi harga minyak gorengnya yang diturunkan agar ekses-ekses yang mengarah kepada hal-hal negatif lain tidak sampai terjadi. 

Sebaiknya pemerintah berusaha keras agar dua faktor penyebab kunci kenaikan harga minyak goreng tersebut mendapat solusi alternatifnya. Selain itu, solusi itu perlu agar pengusaha tidak merugi dan mesyarakat dan pelaku usaha UMKM tidak menjerit.

Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun