Di samping faktor-faktor lain yang juga menyumbang banyak untuk masalah stunting di provinsi ini.
Masalah ini menurut presiden hanya bisa diselesaikan lewat intervensi terpadu.
Intervensi terpadu itu bukan hanya untuk rumah tidak layak huni tapi juga intervensi terhadap gizi anak agar bisa mencegah kekerdilan. Intervensi ini lanjut Jokowi, harus sudah dimulai dari masa persiapan pengantin. Pengantin harus sehat agar anak-anak juga nantinya sehat.
Apabila pemerintah pusat dan daerah bahu-membahu mengupayakan pengentasan stunting ini maka target minimal stunting 14 persen seperti yang dicanangkan pemerintah pada 2024 dapat tercapai.
Sebelumnya seperti dilansir oleh CNN Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkap kabupaten dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3 persen. Dan ini tertinggi di Indonesia di antara 246 kabupaten/kota di 12 Provinsi prioritas penanganan balita stunting.
Sebagai perbandingan saja, Kabupaten Belu prevalensi stuntingnya 34 persen secara nasional, begitu pula kabupaten Malaka di atas 30 persen. Karena itu keduanya juga berada pada warna merah.
Angka stunting ini memang berkorelasi dengan apa yang disampaikan Presiden dalam kunjungan kerjanya kali ini di TTS, desa Kesetnana.
Berdasarkan data SSGI 2021, dari 22 Kabupaten/Kota yang di NTT, tidak satupun daerah yang berstatus biru apalagi hijau.
Ini artinya, persoalan stunting di NTT belum menemukan solusi yang tepat.
Memang, secara keseluruhan angka stunting Indonesia menurun, dari 29 persen pada 2015 menjadi 27.6 persen tahun lalu (tahun 2021). Adapun pada 2013, angka stunting nasional mencapai 37,2 persen.