Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Ini 4 Pangan Lokal NTT yang Bisa Dimanfaatkan Guna Mencegah Stunting

14 Maret 2022   20:57 Diperbarui: 16 Maret 2022   21:01 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: insanbumimandiri.org

Bukan menjadi rahasia lagi bila NTT menempati rangking tertinggi dalam soal stunting secara nasional.

Ini terlihat dari data Kemenkes yang telah merilis provinsi-provinsi dengan angka stunting tertingginya. 10 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi tersebut antara lain, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Aceh, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Untuk provinsi NTT, hal ini sangatlah masuk akal karena berkorelasi erat dengan pola pikir, pola makan, dan pola asuh yang salah namun terus diwariskan turun-temurun dari nenek moyang suku-suku di NTT.

Padahal kalau mau jujur NTT tidak kekurangan pangan lokal yang bisa mencukupi kebutuhan gizi untuk orang-orang NTT.

Namun karena pola pikir yang masih terhalang oleh adat istiadat dan mitos-mitos menyebabkan masalah stunting masih terus melilit provinsi ini dari masa ke masa.

Stunting adalah suatu keadaan gangguan pertumbuhan pada anak, yang mengakibatkan tinggi badan lebih pendek dibanding anak-anak seusia yang sehat. Ini dapat terjadi saat seorang anak tidak mendapatkan asupan gizi dalam jumlah yang tepat dalam waktu yang lama.

Ini sangat dipengaruhi oleh pola makan dan pola asuh yang kadang diabaikan kebanyakan orang tua.

Berbagai upaya sudah dilakukan tetapi upaya dan usaha-usaha itu selalu terbentur dengan pola pikir masyarakat atau mind set yang belum mau berubah. 

Yang penting bisa makan hari ini dan kenyang. Hanya itu. Gizi tidak pernah masuk dalam hitungan.

Makan sehat sabar dulu, yang penting urusan adat. Bahkan sering terdengar ada anggapan yang sangat keliru yang terlontar dari orang-orang Timor. "Mati tidak apa-apa, tapi malu jangan" kalau sudah berurusan dengan adat. 

Kalau ada acara adat atau kumpul keluarga, bisa bawa beras satu karung, hewan yang besar-besar dan juga uang yang banyak. Meski itu hasil dari utang atau pinjam. 

Mirisnya, ada keluarga yang setiap hari cuma makan sekali, tetapi kalau ada acara adat selalu di depan demi menjaga gengsi dan supaya tidak malu.

Ini problem besar dan kendala untuk mengatasi masalah stunting di daerah terutama di daerah-daerah NTT.

Sebenarnya, banyak sekali pangan lokal yang tidak mahal-mahal yang bisa dilirik untuk mengatasi stunting.

Pangan-pangan lokal itu, yakni Kelor (Marungga), Ubi kayu, Pisang, dan Kacang hijau.

1. Kelor (Marungga)

Tanaman marunggu atau kelor memiliki nutrisi yang super lengkap. Akan tetapi selama ini dipandang sebelah mata.

Masyarakat NTT baru mulai membudidayakannya beberapa tahun terakhir, namun terkendala oleh pemasarannya yang tidak jelas.

Sumber Gambar: insanbumimandiri.org
Sumber Gambar: insanbumimandiri.org

Namun yang paling penting adalah kandungan nutrisi yang ada di dalamnya. Banyak nutrisi yang dibutuhkan bayi ada di daun kelor yang segar.

Berdasarkan data Kemenkes RI (TKPI), setiap 100 gram "Daun kelor, segar" mengandung 1.077 mg kalsium, 5,1 gram protein, 6,0 mg besi dan 4,2 mg niasin.

Ini menunjukkan bahwa kandungan kalsium, protein, besi dan niasin termasuk tinggi.

Mengkonsumsi "Daun kelor, segar" secara teratur sesuai AKG (Angka Kecukupan Gizi) atau sesuai kebutuhan gizi per hari dari Kemenkes RI, bermanfaat untuk kesehatan bagi ibu hamil dan bayi seperti berikut ini:

Menjaga ibu hamil tetap sehat karena kelor memiliki kandungan protein dan zat besi yang cukup tinggi.

Kandungan kalsium yang tinggi bisa mencegah pre-eklampsia pada ibu hamil. Manfaat lainnya adalah mengurangi resiko penyusutan tulang selama hamil dan menyusui karena selain protein dan besi, kelor juga mengandung niasin. Protein, besi dan niasin juga berfungsi menopang perkembangan janin.

2. Ubi Kayu (Singkong)  

Persoalan stunting di Indonesia masih perlu terobosan untuk diatasi, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Selain kelor, singkong merupakan salah satu komoditas yang bisa dikembangkan untuk mengatasi stunting tersebut. Hal ini sejalan dengan kearifan tradisional masyarakat yang sudah memanfaatkan berbagai olahan singkong.

Orang-orang NTT sudah mengonsumsi ubi kayu secara turun-temurun. Bahkan, setiap daerah mempunyai jenis olahan singkong dengan berbagai cita rasa dan kekhasan.

Bisa dibayangkan saja, dalam 100 gram ubi kayu rebus terdapat 98 persen kalori yang berasal dari karbohidrat. 2 persen sisanya berasal dari protein dan lemak.

Dilihat dari banyaknya kandungan gizi pada ubi kayu, wajar saja jika makanan pokok yang satu ini memiliki banyak manfaat baik bagi tubuh.

Sejumlah kandungan gizi tersebut mampu menunjang kesehatan tubuh, sekaligus meningkatkan metabolisme. Karena itu sangat penting juga bila dijadikan pangan untuk menunjang gizi bayi atau anak.

Meski demikian perlu kehati-hatian sebab ubi kayu mengandung sianida. Oleh sebab itu bahan pangan ini tidak boleh dikonsumsi mentah.

Pengolahan yang benar akan menghilangkan kandungan sianida yang ada pada ubi kayu. 

Dilansir dari Center for Disease Control and Prevention, proses membersihkan, merendam, mengeringkan, dan memasaknya membuat senyawa tersebut aman untuk dikonsumsi.

Jarang ditemukan kasus keracunan sianida akibat ubi kayu, karena orang-orang telah mengetahui bagaimana cara aman mengolahnya.

Selain mengandung sianida alami, ubi kayu juga dapat menyerap polutan dari daerah di mana ia tumbuh.
Beberapa jenis polutan tersebut, termasuk logam, pestisida, dan herbisida.

Akan tetapi, sekali lagi pengolahan yang benar menghilangkan jenis-jenis polutan tersebut sehingga aman dikonsumsi.

Sementara ini sedang dilakukan penelitian secara intens terhadap pangan lokal yang satu ini agar dapat dimanfaatkan untuk mengatasi stunting di daerah ini.

3. Kacang Hijau

Kacang hijau sudah diketahui luas manfaat dan gunanya bagi kesehatan dan terutama bagi bayi guna mengatasi stunting.

Kacang hijau dipilih sebagai makanan pendamping karena kaya akan nutrisi yang ideal bagi tumbuh-kembang anak. Selain itu, beberapa fakta ini menjadi alasan mengapa di Posyandu, anak diberi bubur kacang hijau.

Kacang hijau adalah sumber vitamin. Ada sejumlah vitamin yang terkandung di dalam kacang hijau, yaitu C, A, K, E, dan B6. Kacang hijau juga telah terbukti kaya akan tiamin, riboflavin, niasin, folat, kalsium, zat besi, magnesium, kalium, fosfor, seng, dan natrium.

Semua itu merupakan pondasi penting yang memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Terutama untuk perkembangan fisik dan mental balita.

Selain itu, kacang hijau memgandung protein yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak atau balita.

Kacang hijau mudah dicerna dan memiliki potensi besar dalam penyembuhan dan pengurangan risiko yang berkaitan dengan gangguan kesehatan hati. Mengonsumsi kacang hijau juga meningkatkan kekebalan tubuh anak.

4. Pisang

Pisang mengandung kalium yang berfungsi menjaga kesehatan jantung, juga ada vitamin B6, dan vitamin C.

Pisang juga menjadi makan khas orang NTT. Ketika masyarakat NTT belum mengenal beras, pisang menjadi panganan sehari-hari.

Selain itu, sudah sejak lama pisang dianggap sebagai makanan utama pada masa awal-awal MPASI (makanan pendamping air susu ibu) untuk bayi. Mengingat bahwa pisang adalah pilihan yang bagus untuk makanan padat pertama untuk bayi.

Faktanya memang pisang merupakan makanan yang baik untuk bayi, anak-anak, hingga orang dewasa di segala usia.

Pisang disukai kebanyakan bayi karena rasanya yang manis alami, cukup lunak, dan mengandung banyak nutrisi penting. Itulah mengapa pisang begitu mudah diterima oleh bayi di samping ASI atau susu formula yang biasa ia minum.

Sayangnya, masih banyak ibu-ibu di NTT belum sadar betul akan kegunaan pisang bagi bayi.

**

Harapannya, dengan bantuan penelitian yang mendalam dari para dokter dan ahli kesehatan semakin banyak pangan lokal yang benilai
gizi tinggi dimanfaatkan untuk mengatasi masalah stunting. 

Jadi bukan hanya makanan-makanan instan yang dijual di toko-toko tetapi bahan-bahan yang dproduksi swndiri dan dihasilkan sendiri dari kebjn-kebun masyarakat.

Salam sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun