Miskonsepsi yang lain adalah belajar itu hanya menghafal dan menggunakan rumus. Siswa harus memahami pelajaran dengan menggunakan semua metode pembelajaran seperti menyimak, merangkum, praktek, observasi, menalar, dan menyelesaikan persoalan.
Metode-metode itu baik tetapi terlalu memaksa siswa. Dalam Merdeka Belajar, siswa memilih metode yang paling baik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Inilah keuntungan dari Kurikulum Merdeka.
Selain itu konsep yang salah juga terdapat pada nilai angka terstandar untuk mengukur keberhasilan belajar yang dinamakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang harus dicapai oleh siswa. Akibatnya, nilai lebih penting dari pada kejujuran. Segala cara boleh ditempuh asal KKM tercapai.
Dalam Merdeka Belajar, penilaian bukan lagi pada angka melainkan pada suatu karya dari pelajar.
Kurikulum Merdeka Belajar memberi kewenangan kepada sekolah untuk melakukan penilaian terhadap siswanya tidak hanya dalam soal-soal pilihan ganda seperti yang selama ini terjadi tetapi penilaian itu bisa berupa essay, portofolio, dan penugasan-penugasan lain seperti tugas kelompok, karya tulis, dan lain-lain.
Ujian Nasional akan dilaksanakan dengan konsep yang berbeda. Untuk tes kompetensi kognitif materinya hanya ada dua, yaitu literasi dan numerasi.
Kemampuan literasi yang diuji bukan terbatas pada kemampuan membaca saja tetapi lebih kepada kemampuan menganalisa suatu bacaan dan kemampuan mengerti atau memahami konsep di balik sebuah tulisan.
Sementara kemampuan numerasi yang diuji adalah kemampuan menganalisa dan menggunakan angka-angka dan matematika.
Tes ini bukan berdasarkan mata pelajaran tetapi berdasarkan kompetensi minimum atau dasar yang dibutuhkan siswa untuk bisa belajar, apapun materinya, apapun mata pelajarannya.
Selain kemampuan kognitif itu, akan ada juga survey karakter untuk mengetahui ekosistem sekolah. Bagaimana implementasi nilai-nilai kebangsaan di sekolah akan digali dari siswa.
Kelihatannya Kurikulum Merdeka Belajar ini simpel karena langsung mengarah kepada minat dan bakat siswa.