Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reformasi Dikorupsi

25 September 2019   08:31 Diperbarui: 25 September 2019   08:48 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang akhir bulan September di musim kemarau yang kian gersang, di Republik yang sedang kehilangan arah mahasiswa dan berbagai aliansi masyarakat turun ke jalan bersama-sama untuk menolak beberapa Rancangan Undang-undang yang dianggap akan menyusahkan masyarakat dan menguntungkan para penguasa termasuk para narapidana koruptor.

Tanggal 23 September menjadi awal perjuangan mereka di jalan, mendatangkan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, selaku wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. 

Mereka adalah orang-orang yang paling menentukan dalam pengesahan berbagai Undang-Undang bermasalah tersebut.

Wakil rakyat yang diharapkan menjadi pembela rakyat di parlemen, menentang penguasa jika pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang keliru dan merugikan rakyat kini seolah mereka melupakan fungsi-fungsinya dan janjinya di masa kampanye kepada masyarakat. Wakil rakyat yang berubah menjadi penjahat.

Hari-hari belakangan cuaca cukup panas di sebagian wilayah Jabodetabek. Terutama di Jakarta. Hujan sudah lama tak turun di Ibu Kota. Gelisah dan gerah kian menjadikan amarah semakin meningkat. 

Presiden yang entah kenapa hanya sekedar memerintahkan jajarannya tanpa memberikan keputusan tegas yang jelas-jelas merugikan rakyatnya yang sebagian besar adalah pemilihnya (baik di Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019). 

Mungkin kita lupa dan jangan berharap banyak, Presiden tak akan bisa berbuat banyak untuk pemilihnya dan berbuat banyak untuk menciptakan keadilan, karena di sekitar kekuasaannya saja banyak orang-orang yang tak pernah berpihak kepada keadilan dan rakyat.

Cuaca panas, kondisi sosial semakin memanas, tak ada rakyat yang ingin kembali ke masa Orde Baru dengan segala undang-undang yang akan disahkan oleh DPR dan juga Pemerintah.

Presiden dan Wakil Rakyat Siapa?

Joko Widodo dan para wakil rakyat yang sekarang duduk di gedung DPR merupakan pilihan rakyat yang pada masa kampanye dengan janji-janji manisnya mencoba merayu masyarakat agar memilihnya. Imbalannya adalah kesejahteraan dan keadilan yang akan dirasakan masyarakat dikemudian hari.

Melalui sistem Demokrasi, Presiden dan Wakil Presiden, juga para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih langsung oleh masyarakat. Rakyat secara periodik, dalam pemilihan umum yang bebas dan kompetitif, diberi kesempatan untuk mengekspresikan persetujuan atau tidak persetujuan yang menentukan pergantian elit kekuasaan oleh pihak yang menang. 

Lewat pemilihan umumlah rakyat memutuskan kehendaknya, apakah mereka menginginkan penguasa terus berkuasa, atau apakah mereka menginginkan elit baru untuk menjalankan kekuasaan.

Sebelum dilaksanakannya pemilihan umum, para kandidat presiden dan wakil presiden, maupun calon anggota dewan mempunyai hak untuk melakukan kampanye. 

Kampanye sendiri dalam buku Gun Gun Heryanto yang berjudul "Media Komunikasi Politik", diartikan sebagai aktivitas persuasif yang diselenggarakan secara sadar, sengaja, bertahap dan berkelanjutan dalam suatu periode tertentu. 

Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga masyarakat.

Baik presiden dan wakil presiden maupun anggota dewan dipilih atas pencalonan dari partai politik. Partai politik sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat menurut Giovanni Sartori, partai politik memiliki peran penting untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan dilevel negara. 

Peran partai politik sebagai mediator dan katalisator dari kekuatan masyarakat sipil dan proses-proses politik formal yang berlangsung di level negara dan masyarakat politik ini menuntut partai memiliki hubungan yang dinamis, pro-aktif dan transformatif dengan kekuatan masyarakat sipil.

Namun pada umumnya partai politik yang sekarang banyak diduduki oleh para aktivis mahasiswa yang menggulingkan kekuasaan Orde Baru justru mengulangi kesalahan rezim yang mereka jatuhkan masa itu. Keberhasilan mendobrak rezim otoritarian pada masa Soeharto justru diikuti dengan reproduksi habitus otoriter melalui sikap oligarki politik di internal partai pada masa Reformasi, yang dijalankan oleh para aktivis-aktivis utama 

Demokrasi yang menjadi petinggi puncak partai politik.

Selanjutnya partai politik pada jaman sekarang tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik. Di luar itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elite.

Menurut Jefrie Geovanie, selama ini rakyat mulai sadar diri bahwa aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elit partai hampir tak berfungsi dan memfungsikan diri. Setelah hajatan politik usai, elit partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan oligarkis.

Mengutip dari "Sepuluh Tesis tentang Problem Kepemimpinan dan Demokratisasi Politik Kepartaian" yang ditulis oleh Airlangga Pribadi, Seldon Wolin seorang filsuf politik republikan menguraikan, ketika proses Demokrasi hanya berpihak pada kepentingan elitisme politik, meninggalkan keadaban politik dan menjadikan publik hanya menjadi penonton; maka kebebasan dan hak-hak politik akan dipandang secara membosankan dan kehilangan signifikansi dihadapan publik. 

Rakyat akan bersikap apatis dan tidak akan memiliki kepercayaan bahwa segenap kepentingan dan harapan untuk merubah kondisi hidupnya dapat dilakukan melalui aktivitas-aktivitas politik dalam ruang publik. Dengan menghilangkan sisi mormativitas dari 

Demokrasi, maka wacana kewargaan akan tereduksi semata-mata sebagai barang ko modifikasi murahan dan Demokrasi hanya menjadi jalan bagi berakhirnya tindakan politik.

Masih mengutip dari tulisan yang sama "Sepuluh Tesis tentang Problem Kepemimpinan dan Demokratisasi Politik Kepartaian", David Beetham mengutarakan bahwa pemahaman mainstream diskursus Demokrasi yang menekankan pada dimensi prosedural Demokrasi semata-mata pada aspek elektoral politik, telah mengabaikan berbagai elemen substansial dari Demokrasi itu sendiri. 

Menjadikan pemilihan umum yang bebas dan kompetitif, eksisnya multipartai dan terpilihnya pemimpin publik melalui mekanisme pemilu yang fair sebagai tujuan dari Demokrasi itu sendiri, atau menempatkan Demokrasi sebagai empty space (ruang kosong), sama dengan meniadakan substansi Demokrasi, yaitu ketika setiap kebijakan politik yang mengikat warga negara harus melibatkan partisipasi dan kontrol dari kekuatan masyarakat sipil.

Selanjutnya mengutip dari buku "Pergeseran Fungsi Legislasi", karangan Saldi Isra, partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan perundang-undangan. 

Sebagai sebuah konsep yang berkembang dalam sistem politik modern, partisipasi merupakan ruang bagi masyarakat untuk melakukan negoisasi dalam proses perumusan kebijakan terutama yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, masih mengutip dari buku "Pergeseran Fungsi Legislasi", Mas Achmad Santosa menambahkan bahwa pengambilan keputusan publik yang partisipatif bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan serta keinginan masyarakat luas. 

Dikaitkan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping memberi ruang kepada masyarakat untuk mengetahui sejak dini kemungkinan implikasi pembentukan peraturan perundang-undangan, partisipasi publik diperlukan guna memastikan bahwa kepentingan masyarakat tidak diabaikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Demokrasi partisipatoris menilai penting partisipasi masyarakat terlibat dalam pembentukan perundang-undangan. Menurut pendukung Demokrasi partisipatoris, dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran masyarakat dalam pembuatan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Ditambahkan Robert B. Gibson, Demokrasi partisipatoris tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis, tetapi juga masyarakat yang demokratis.

Dengan mengabaikan peran serta masyarakat, terutama di negara berkembang, akan gagal menjadikan hukum sebagai program transformasi karena rakyat tidak difasilitasi secara baik dan tidak didengar dalam proses pembentukan hukum termasuk pembentukan undang-undang.

Salah satu perkembangan fungsi legislasi setelah perubahan UUD 1945, yaitu adanya jaminan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. 

Sesuai dengan amanat Pasal 22A UUD 1945, disahkan UU No. 10/2004. Pasal 53 UU No. 10/2004 menyatakan, " masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. 

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 53 ditegaskan, hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam Pasal 141, Pasal 142 dan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 15/DPR-RI/2004 disebutkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-undang merupakan hak untuk menyampaikan masukan baik lisan maupun tertulis terhadap suatu rancangan undang-undang sejak penyiapan maupun pembahasannya, dengan ketentuan jika inisiatif tersebut datang dari masyarakat, maka masyarakat haruslah bersifat aktif untuk menyampaikan aspirasinya. 

Sebaliknya, jika inisiatif tersebut datang dari DPR, hal tersebut dilakukan melalui alat kelengkapan DPR.
Untuk perkembangan yang terjadi dalam dinamika politik yang sekarang terjadi di negeri ini, rupanya DPR dan Presiden tak lagi mau mendengarkan aspirasi masyarakat. 

Berawal dari penolakan masyarakat terhadap UU KPK yang baru karena dianggap dapat mengurangi wewenang KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi hingga penolakan masyarakat terhadap RUU KUHP karena di dalamnya terdapat banyak pasal yang ngawur dan merugikan masyarakat.

Kedua hal ini akhirnya melahirkan gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa untuk turun ke jalan menuntut ketua DPR agar tidak mengesahkan RUU KUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Ketenagakerjaan. Mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA. Mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 

Selain itu hal penting lainnya dalam gerakan ini adalah menuntut agar membatalkan pimpinan bermasalah KPK yang dipilih oleh DPR, menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis dan menuntut stop militerisme di Papua dan daerah lain juga membebaskan para aktivis Papua yang ditangkap.

Berawal dengan segala masalah RUU yang dirancang DPR dan juga pemerintah karena dianggap sama sekali tidak mewakili keinginan masyarakat luas dan malah merugikannya, Jokowi diakhir masa pemerintahan periode pertamanya mendapatkan pandangan yang sangat buruk.

Jokowi bersama para mantan aktivis yang dahulu menjatuhkan kekuasaan Orde Baru kini sedang menuju untuk mengulangi kesalahan yang sama. 

Berupaya untuk melindungi kekuasaannya dan melindungi kekuasaan elit politik yang berkuasa. Pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang tak lagi memedulikan aspirasi masyarakat dan hanya ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan elit partai. Reformasi yang dulu berhasil direbut kini sedang dikorupsi oleh pemerintah dan juga anggota DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun