Lewat pemilihan umumlah rakyat memutuskan kehendaknya, apakah mereka menginginkan penguasa terus berkuasa, atau apakah mereka menginginkan elit baru untuk menjalankan kekuasaan.
Sebelum dilaksanakannya pemilihan umum, para kandidat presiden dan wakil presiden, maupun calon anggota dewan mempunyai hak untuk melakukan kampanye.Â
Kampanye sendiri dalam buku Gun Gun Heryanto yang berjudul "Media Komunikasi Politik", diartikan sebagai aktivitas persuasif yang diselenggarakan secara sadar, sengaja, bertahap dan berkelanjutan dalam suatu periode tertentu.Â
Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga masyarakat.
Baik presiden dan wakil presiden maupun anggota dewan dipilih atas pencalonan dari partai politik. Partai politik sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat menurut Giovanni Sartori, partai politik memiliki peran penting untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan dilevel negara.Â
Peran partai politik sebagai mediator dan katalisator dari kekuatan masyarakat sipil dan proses-proses politik formal yang berlangsung di level negara dan masyarakat politik ini menuntut partai memiliki hubungan yang dinamis, pro-aktif dan transformatif dengan kekuatan masyarakat sipil.
Namun pada umumnya partai politik yang sekarang banyak diduduki oleh para aktivis mahasiswa yang menggulingkan kekuasaan Orde Baru justru mengulangi kesalahan rezim yang mereka jatuhkan masa itu. Keberhasilan mendobrak rezim otoritarian pada masa Soeharto justru diikuti dengan reproduksi habitus otoriter melalui sikap oligarki politik di internal partai pada masa Reformasi, yang dijalankan oleh para aktivis-aktivis utamaÂ
Demokrasi yang menjadi petinggi puncak partai politik.
Selanjutnya partai politik pada jaman sekarang tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik. Di luar itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elite.
Menurut Jefrie Geovanie, selama ini rakyat mulai sadar diri bahwa aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elit partai hampir tak berfungsi dan memfungsikan diri. Setelah hajatan politik usai, elit partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan oligarkis.
Mengutip dari "Sepuluh Tesis tentang Problem Kepemimpinan dan Demokratisasi Politik Kepartaian" yang ditulis oleh Airlangga Pribadi, Seldon Wolin seorang filsuf politik republikan menguraikan, ketika proses Demokrasi hanya berpihak pada kepentingan elitisme politik, meninggalkan keadaban politik dan menjadikan publik hanya menjadi penonton; maka kebebasan dan hak-hak politik akan dipandang secara membosankan dan kehilangan signifikansi dihadapan publik.Â