Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kardus Cinta dari Mama

29 November 2023   22:18 Diperbarui: 29 November 2023   22:39 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dus Cinta dari Mama (dokumentasi: Ayuni)

Kardus  bekas merupakan benda multifungsi yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Menyimpan barang, mengangkut barang, hingga mengirim barang. Bahkan, dalam beberapa kasus, kardus menjadi headline berita dan viral karena berisi uang kasus penyuapan hingga pamer uang.

Tapi dalam tulisan receh ini, saya tak ingin membahas kasus kardus berisi uang yang viral-viral itu. Saya hanya ingin menulis tentang salah satu kebiasaan  melakukan pengiriman barang dari desa ke kota dan sebaliknya.

*

Mentari berlahan tergelincir ke ufuk barat. Membawa serta sinar kuning keemasan. Riak ombak berlahan teduh beriringan angin yang berdesir manja.

Di sore yang indah ini, seorang ibu, Mama Nia; istri dari paman saya, nampak sedang menebang sebuah pohon pisang di belakang rumah. 

Di desa ini, pohon pisang berjejer sepanjang garis pantai. Ditanami warga di pinggir talud penahan ombak. Hilangnya pohon-pohon pantai digantikan dengan pohon pisang sebagai penghalang angin saat musim selatan tiba. Angin yang sesekali mengoyak-ngoyak atap rumah hingga kadang menerbankangkan seng-seng rumah.

Mama Nia menebang dua pohon pisang yang sudah matang. Dilihat dari buah yang sudah berwarna abu-abu kecoklatan juga dibeberapa sisir telah tampak sisa santapan kelelawar.

Buah pisang itu dia letakan di dapur. Lalu mengambil poga-poga; pengait buah dari bambu, dan memetik beberapa biji buah Amo; Sukun. Sejurus kemudian ia sudah berada di samping rumah. Memetik lemon limau. 

Saya menyaksikan adegan singkat itu dari atas talud sembari menikmati senja yang tetakhir sebelum esok harus kembali ke Ternate.

Mama Nia kemudian meng-sika; membuka sisiran pisang dari tangkai, satu persatu. Memilah-milah jeruk limau dalam dua bagian kemudian mengambil Amo dan diletakan di satu tempat.

Sasaat kemudian ia memerintahkan saya mencari dus di warung. Saya bergegas menuju warung satu-satunya di ujung kampung ini berjalan kaki. 

Tiga dus bekas mie instan berhasil saya bawa pulang. Tentu dengan gratis. Tidak perlu membayar. Dus itu kemudian di isi beberapa sisir pisang, Amo, jeruk limau, beberapa lempeng sagu, ikan Galafea (ikan julung kering) dan kenari.

Setelah beres menata, kemudian diikat menggunakan tali rafia. Lalu dibubuhi beberapa kode dan sebaris kalimat. 

"Untuk anakku sayang di Ternate, dari Mama Tercinta. Sekolah yang baik, cepat lulus"  

Dus sudah siap. Dan tentu saya yang bakal membawa dus cinta ini ke Ternate esok hari.

*

Speedboat telah sampai di Ternate. Satu persatu penumpang berlahan turun dan tidak langsung pergi. Sebab di sesi inilah semua penumpang menurunkan barang bawaan yang rata-rata di isi dalam dus. 

Maka sangat penting memberikan kode nama dan desa sebagai klaim. Sebab sedikit saja tak ada kode maka raib dus bawaan tersebut. Meski sudah membayar ke ABK sebesar sepuluh ribu perdus itu bukan jaminan. Masing-masing bertangung jawab atas barabg bawaannya. Tidak ada garansi.

 Saya sendiri beberapa kali kehilangan dus meski sudah menulis nama dan kode. Konsekuensinya ialah dimarahi habis-habisan karena tak jeli menemukan barang bawaan di tengah kerumunan penumpang, buruh maupun para penjemput. Sehingga kadang saya tak suka membawa barang bawaan dari desa.

Beruntungnya kali ini, anak Mak Nia  datang menjemput dua dus itu. Tentu dengan sedikit ejekan dari saya yang membaca tulisan cinta dari Mamanya.  Ejekan yang membuat ia malu lantaran saya mengejek dengan membesarkan suara.

 Mahasiswa semester akhir ini hanya mampu menutupi wajahnya sembari menenteng dus keluar pelabuhan. Meski dalam hatinya senang, kiriman telah datang dan ia tak perlu menahan lapar di kosan.

Dus kiriman biasa kami menyebutnya. Berisi bahan berbagai macam makanan dari desa. Selama ini banyak penduduk yang tinggal di kota selalu memesan ke keluarga yang berada di Desa untuk megirimkan beberapa bahan makanan semisal pisang, jeruk hingga kenari.

Apalagi jika bahan kebutuhan pokok di Kota melejit naik atau inflasi. Pisang misalnya, satu sisir yang dijual di pasar bisa menyentuh angka 5 ribu sampai 20 ribu. Tergantung jenis pisang. Kenari? Jangan ditanya. Sekilo bisa 80 ribu sampai 100 ribu.

Maka penduduk desa selalu rajin mengirim bahan makanan itu karena banyak ditanam di desa serta hanya membayar upah speedboat. 

Terdapat dua metode pengiriman, yakni menitipkan ke penduduk desa yang ke kota atau ke ABK itu sendiri. 

Paling lucu ialah ketika kiriman ditujukan ke anak-anak mereka yang sedang berkuliah di Ternate atau bahkan di luar kota Ternate. Sebab selalu ada kelucuan yang tersaji. Selain isi yang bermacam-macam, salah satu yang kami tunggu untuk dibaca ialah tulisan-tulisan pada dus.

Misalnya baru dua hari ini seorang kawan menerima kiriman dari ibunya. Ia memfoto lalu memposting di group. Foto yang kemudian menjadi bahan tawa dan viral di media sosial.

Betapa tidak, ibunya menulis kalimat cinta yang penuh kelucuan. Kira-kira begini bunyinya;

 " buat Ayu dari Mama. Makan sembunyi-sembunyi biar jangan kelihatan orang. Jangan kasih atau berbagi ke teman, pokoknya makan sendiri sampai habis. Mama kirim ikan ngafi; ikan teri satu dus ini sampai Ayu wisuda. Mama sayang Ayu"

Kalimat-kalimat itu mengandung tafsir bergam. Ada yang bilang mamanya Ayu mengajarkan pelit, ada yang mengingatkan agar jangan dihabiskan sebelum wisuda, hingga makan sampai teler...dll.

Tentu bila dibilang malu pasti malu apalagi si Ayu. Namun itu merupakan kondisi biasa. Dan sudah jadi lelucon sakral bagi anak kost. Dan mereka tak segan-segan pamer di media sosial.

Pada intinya, fenomena ini adalah bentuk dari kehidupan sosial dimana saling berbagi masih menjadi sebuah nilai paling tinggi bagi masyarakat Maluku Utara.

Dus-dus kiriman dengan isi bermacam-macam baik dari desa ke kota maupun sebaliknya telah membentuk erat hubungan kekeluargaan. Tidak ada harga yang harus dibayar lebih. Harha itu telah tertanam dalam jiwa saling berbagi.

Pun dengan dus cinta; sematan  tenar, yang menujukan kepedulian, perhatian dan dukungan pada anak-anak dalam meraih cita-cita.

Anak-anak yang menempuh pendidikan di kota dan orang tua yang hidup di desa dengan cita-cita dan harapan akan keberhasilan anaknya.(Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun