"Gayanya bos biji pala," sahut saya meledek.
Gelak tawa kami berempat pecah seketika. Ledekan demi ledekan terus kami lemparkan satu dengan yang lain hingga siang menjelang.Â
Setelah makan siang, kami hentikan pemanjatan dan beralih mengumpulkan satu demi satu butir pala yang berserakan. Pekerjaan yang paling tidak saya sukai.
Pembelahan dilakukan hingga sore hari. Hari itu, kami berempat hanya mampu melakukan pemanjatan masing-masing 4 pohon. Totalnya 16 pohon. Meski tak banyak buah karena sisa panen sebelumnya tetapi cukup menguras tenaga.
Hari-hari selanjutnya kami selesaikan dengan lebih banyak pemanjatan. Terhitung tiga hari pekerjaan dilakukan.
"Harga biji pala hari ini turun 25 ribu menjadi 80 ribu. sementara Fuli pala naik 120 ribu," demikian siaran RRI Ternate mengabarkan.Â
Fahmi sudah menjemur biji pala di halaman depan rumah selama beberapa hari ini. Ia ingin menjemur lebih lama agar kualitas yang dihasilkan jauh lebih baik. Minimal dari ribuan biji itu, ia berharap banyak biji pala botak alias biji pala bulat sempurna ketika di pecahkan kelak. Dan tidak terjadi penyusutan.
Satu minggu lamanya saya melihatnya melakukan penjemuran. Tiap pagi ia keluarkan biji pala itu, dan menggelar tikar hingga karung di bahu jalan desa. Kemudian sorenya dimasukan kembali ke dalam karung dan diletakan di teras rumah.
Seminggu kemudian, ketika lewat di depan rumahnya, terdengar ketukan batu ke cangkang kulit biji pala yang khas. Fahmi sepertinya sudah memutuskan untuk melakukan penjualan meski harga sedang tidak bagus. Warga lain masih menyimpan dan menunggu harga naik.Â
Saya masuk langsung menuju dapur. Di sana ada Fahmi, ayah dan ibunya. Ketiganya menengadah biji pala kering. Saya duduk, mengambil bangku pendek, batu dan duduk membantu.