"Pala ee....naik harga sedikit ka..."
Teriak Fahmi alias Rival di ujung pohon pala yang aku sambut dengan gelak tawa. Poha-poga; pengait pala, yang ia pegang terus dikaitkan ke buah pala sudah boleh dipanen. Pengalaman adalah guru terbaik. Pala tua yang terpetik harus memiliki warna yang sudah benar-benar kuning. Sedikit saja bercorak hijau pada tangkai atau buah, maka dipastikan biji pala tidak berkualitas. Terjadi penyusutan dalam ilmu usaha tani.
Malam sebelumnya, ia menemui saya di rumah. Membujuk agar mau menemaninya memanen lima puluh pohon pala di kebun warisan orangtua yang ia kelola sendiri.
Semua kakaknya sudah bekerja di Kota. Dan sebagai anak lelaki satu-satunya di rumah, ia harus mengerjakan tugas tersebut. Orang tuanya sudah sepuh, dan tidak bisa lagi bekerja keras.
"Ayolah, nanti saya bantu kamu juga," tawarnya sembari menjelaskan jika ia sendirian bakal bisa seminggu bahkan lebih ia memanen.
Ajakan diterima dengan perjanjian kondisi stabil dan balas jasa. Kondisi stabil bermakna makan siang yang disiapkan harus enak, minimal ikan bakar. Ia pun setuju meski ini hanyalah bagian dari candaan semata. Pada praktiknya, ikan teri goreng sambal dabu-dabu pun jadi.Â
Selain saya, juga turut dua kawan lagi dengan perjanjian balas jasa yang sama. Membantu memanen pala kelak jika sudah tua. Perjanjian semacam ini disebut bokyan, atau saling membantu tanpa biaya sepeser pun. Tuan kebun hanya menyediakan makanan.
"Harga pala turun terus, ui... Petik pala juga malas. Kalau begini bisa-bisa gagal ketemu nona ni," keluhnya.
"Kayak punya pacar aja," ledek teman lainnya yang berada di pohon pala lain.
"Eits jangan salah..biar begini-begini, playboy guys," katanya.Â