Nilai sejarah dan kenangan itu seharusnya dibiarkan saja. Guna memaknai bagaimana gedung itu menjadi saksi perjalanan waktu dari perubahan kota. Apalagi, belum ada sebuah karya berupa narasi yang dibukukan.
Tetapi pemerintah punya pandangan lain. Keuntungan adalah bagian yang tak terpisahkan dari rancangan tata kota.Â
Gedung dirobohkan, dibangun gedung bertingkat yang sampai saat ini justru terdapat banyak masalah. Yakni dugaan korupsi. Sejak 2017 hingga kini pasar tersebut terus memberikan masalah bagi Pemda. Beberapa kali mangkrak. Terakhir seingat saya, di 2022, plafonnya jebol. Barulah 2023 ini, difungsikan dengan pengelolaan yang tenti mirip-mirip manajemen mall besar.
Sekarang Area Gamalama telah berkembang pesat di area seluas 38.31 Ha. Reklamasi pantai atau Tapak telah menumbuhkan sektor bisnis baru. Lahan reklamasi bernama Tapak ini telah hadir Mall, Ruko, Landmark, Taman Nukila, Pasar Higenis, dan beberapa toko ritel besar.Â
Terciptalah polarisasi kepentingan dan gap antara pedagang dan pengusaha besar. Berulang kali konflik terjadi lantaran kurang diperhatikannya lokasi pedagang lokal yang berbatasan langsung dengan kawasan perdagangan moderen.
Banyak pedagang mengeluhkan spesialisasi tempat yang hanya buat pengusaha besar, sementara mereka, harus berhadapan terus menerus dengan masalah penggusuran, Â pemindahan, sewa lapak, pungli hingga rebutan tempat jualan.
Di satu sisi, perubahan wajah kota adalah perubahan polarisasi kebudayaan. Hilang bisa jadi. Banyaknya suku dengan kebudayaan bisa jadi menjadi elaborasi kebudayaan baru.Â
Tentu Ternate sebagai kota budaya harus mampu memberikan kebebasan namun juga tak melupakan inti-inti sejarah dalam perjalanan waktu kedepan. Sukur dofu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H