Sebuah tempat pasti mengalami perubahan demi perubahan seiring perkembangan jaman. Â Pertumbuhan penduduk, penataan, progres ekonomi masa depan hingga berbagai kebijakan yang turut memberikan kontribusi.
Begitu juga dengan Gamalama. Lebih dikenal dengan pusat perdagangan penduduk Kota Ternate, Pasar Gamalama. Pasar yang oleh sejarawan Maluku Utara merupakan bekas pasar kolonial yang aktif tahun 1800-an. (1)
Bukti sejarah yang menguatkan dalil ini ialah masih adanya sebuah benteng yakni Benteng Orange. Tepat di depan inilah pasar Gamalama berada.Â
Dulu, seingat saya, Pasar Gamalama memiliki sebuah gedung bertingkat nan bersejarah yang dibangun tahun 1970-an. Hanya itu satu-satunya gedung berlantai dua saat itu.  Setiap kali ke Ternate, periode 1993-2000an, kami sering mampir  sehabis menjual Pala atau jagung di pedagang sekitar pasar.Â
Biasanya, Kakek selalu menyempatkan mengisi gas korek api dan memperbaiki baterai jam tangan. Setelah itu, berbelanja beberapa baju untuk saya.Â
Digedung lantai 2 ini-Pasar Gamalama- terdapat banyak pedagang dengan berbagai macam jualan. Paling terkenal ialah tukang jahit, reparasi jam, tukang sol sepatu hingga pakian. Di depan pasar, berjejer pedagang sayuran. Juga angkot dan Delman. Di samping kiri kanan, barulah para pedagang jual beli pala, material, dll.
 Namun kini, hanya kenangan yang tersisa. Gedung-gedung klasik nan bersejarah telah berganti bangunan megah berbaja. Sudut-sudut bersejarah berganti bangunan pertokoan moderen.
Hanya ada beberapa sisa dari kenangan, semisal bioskop Gamalama, tempat paling terkenal di era 70-90 an. Bioskop satu-satunya. Tempat anak hits tahun 70 an berkumpul. Juga mencari jodoh. Juga satu toko buku tua dan pertama, toko buku Selekta.
Gedung satu-satunya dan bersejarah juga telah dirobohkan. Diganti dengan gedung Gamalama moderen sejak 2017. Meski banyak pihak menyayangkan pembongkaran tersebut. Sebab itulah saksi perjalanan dari pembangunan di Kota Ternate. Bangunan pertama berkonsep moderen kala itu.Â
Nilai sejarah dan kenangan itu seharusnya dibiarkan saja. Guna memaknai bagaimana gedung itu menjadi saksi perjalanan waktu dari perubahan kota. Apalagi, belum ada sebuah karya berupa narasi yang dibukukan.
Tetapi pemerintah punya pandangan lain. Keuntungan adalah bagian yang tak terpisahkan dari rancangan tata kota.Â
Gedung dirobohkan, dibangun gedung bertingkat yang sampai saat ini justru terdapat banyak masalah. Yakni dugaan korupsi. Sejak 2017 hingga kini pasar tersebut terus memberikan masalah bagi Pemda. Beberapa kali mangkrak. Terakhir seingat saya, di 2022, plafonnya jebol. Barulah 2023 ini, difungsikan dengan pengelolaan yang tenti mirip-mirip manajemen mall besar.
Sekarang Area Gamalama telah berkembang pesat di area seluas 38.31 Ha. Reklamasi pantai atau Tapak telah menumbuhkan sektor bisnis baru. Lahan reklamasi bernama Tapak ini telah hadir Mall, Ruko, Landmark, Taman Nukila, Pasar Higenis, dan beberapa toko ritel besar.Â
Terciptalah polarisasi kepentingan dan gap antara pedagang dan pengusaha besar. Berulang kali konflik terjadi lantaran kurang diperhatikannya lokasi pedagang lokal yang berbatasan langsung dengan kawasan perdagangan moderen.
Banyak pedagang mengeluhkan spesialisasi tempat yang hanya buat pengusaha besar, sementara mereka, harus berhadapan terus menerus dengan masalah penggusuran, Â pemindahan, sewa lapak, pungli hingga rebutan tempat jualan.
Di satu sisi, perubahan wajah kota adalah perubahan polarisasi kebudayaan. Hilang bisa jadi. Banyaknya suku dengan kebudayaan bisa jadi menjadi elaborasi kebudayaan baru.Â
Tentu Ternate sebagai kota budaya harus mampu memberikan kebebasan namun juga tak melupakan inti-inti sejarah dalam perjalanan waktu kedepan. Sukur dofu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI