Tiga hari ini, beredar tangkapan layar WhatsApp Group berisi percakapan seorang oknum anggota Bawasalu dengan Tim Seleksi (Timsel) Bawaslu Kabupaten di Maluku Utara. Dalam grup tersebut juga ada perwakilan salah satu partai. Intinya, percakapan tersebut menginstruksikan agar Timsel mengikuti instruksi yang diberikan oleh perwakilan partai dalam menetapkan siapa saja yang bakal mengisi pos-pos komisioner kabupaten kelak.
Aksi main serong ini kemudian mendapat kecaman publik Maluku Utara. Beberapa lembaga sudah melakukan pelaporan atas tindakan anggota Komisoner Bawaslu dan juga Timsel ke DKKP.
Fenomena ini sangat menarik dan melahirkan pertanyaan? Apakah tahapan pemilihan anggota penyelenggara itu sudah sesuai mekanisme?
Negeri ini sepertinya masih sangat sulit keluar dari belenggu "orang dalam " serta "intervensi kepentingan". Begitu juga dalam kepentingan politik.Â
Pengalaman-pengalaman yang saya rasakan cukup memberikan landasan bahwa proses politik belum sepenuhnya berjalan sesuai mekanisme kejujuran. Semua ada harganya.
***
"Izin Adik, abang mau ikut tes penyelenggara. Mohon di kondisikan di pusat," sebuah pesan mendarat di WA.Â
"Waduh dikondisikan bagaimana itu, bang," ujar saya menanggapi.
"Adik taulah bagaimana mainnya. Meski sudah kuat di lokal, tapi harus punya power juga di pusat."
"Mohon maaf bang. Sepertinya abang salah orang," tegasku.
Obrolan seperti ini sudah mulai berjalan beberapa minggu belakangan. Apalagi setelah terpilihnya Timsel.Â
Banyak dari teman-teman saya yang kemudian bergerak lebih awal melakikan lobi-lobi. Setidaknya dapat memberikan harapan atas usaha mereka mengikuti kontestasi penyelenggara.Â
Bahasa-bahasa seperti mengenal si A atau dia orang si B sangat kental dalam kalangan politisi, akademik, hingga aktivis. Setidaknya di Maluku Utara.
Tentu bagi yang tak punya kenalan atau relasi, mengikuti kontestasi sama saja buang waktu. Banyak teman-teman saya juga yang punya modal berani justru kalah telak karena tak punya relasi. Beberapa bahkan ikut berkali-kali, namun dewi fortuna sepertinya kalah dengan orang dalam.
Lalu apakah penyelanggara itu resistance terhadap kepentingan politik segelintir orang?
Bisa iya bisa tidak. Tergantung integritas penyelenggara. Tidak semua komisoner baik KPU maupun Bawaslu demikian. Ada juga yang beintegritas menjalankan tugas dan tanggung jawab, jujur, transparan dan akuntabel.
Namun bagi saya, penyelenggara pemilu sangat resistance dalam penyusupan agenda politik. Selain karena tugas yang berat, penyelanggara merupakan pihak yang bertanggung jawab atas jalannya proses demokrasi. Pihak ini oleh politisi dianggap sebagai key demokrasi dalam mewujudkan keiginan yang diharapkan.
Arti kata, kunci dari menang atau tidaknya seorang politisi mengikuti pemilihan. Sehingga segala cara dan upaya dilakukan guna memuluskan itu semua. Anggap saja suap hingga deal politik.
Bakal menjadi runyam dan sangat resisten jika komisioner merupakan oknum titipan. Artinya, terpilihnya dia atas usaha beberapa pihak baik partai atau politisi.
Pada prosesnya, pemilu yang diharapkan adil, jujur dan terbuka hanya jadi bagian dari wacana. Sebab yang ada ialah pemilu kepentingan.
Memang perlu diakui bahwa fenomena seperti ini jarang terekspos karena memerlukan bukti akurat. Tetapi hal ini bisa dibilang lumrah terjadi. Di mana proses pemilihan penyelenggara diintervensi sangat kuat. Dilingkaran underground politik. Jarang sekali terekspos.
Lobi-lobi, suap, orang dalam, intervensi, jatuh menjatuhkan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses seleksi penyelenggaraÂ
Oleh karena itu, untuk melahirkan pemimpin yang baik, pemilu yang bersih, ideal dan jauh dari kata tidak adil maka sudah seharusnya dilakukan pembaharuan sistem. Utamanya dimulai dari perekrutan komisoner penyelenggara. Di mana pengetatan diperlukan agar tidak ada agenda sisispan dari pihak tertentu.
Perekrutan harus bebas dari intervensi juga bebas dari kuasa oknum-oknum. dalam tahapan seleksi, netralitas harus dijunjung tinggi seperti amanat UU.
Tugas penyelanggara sangat berat. Baik KPU maupun Bawaslu. Sehingga komponen integritas harus mampu di pikul oleh penyelenggara yang lahir dari seleksi bersih dan jauh dari kepentingan politik.
Aturan-aturan telah jelas mengikat. Ketat mengingatkan. Tinggal bagaimana tahapan tersebut berjalan sesuai mekanisme kejujuran.
Sekali lagi, semua dimulai dari tahapan seleksi. Jika seleksinya tercampuri kepentingan politik segelintir oknum maka sudah pasti output yang dihasilkan sama saja. Tidak berubah dari pemilu ke pemilu.
(Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H