" yang bersaudara dengan bupati ialah ayahh angkat saya. Bukan saya.," sembari menjelaskan silsilah keduanya.
"Kalau begitu tolong bantu saya. Bujuk Ayah angkat agar membisikan ke Bupati untuk memenangkan Kades di desa saya," pintanya.
"Waduh mohon maaf. Saya Oposisin". Jawaban yang membuatnya sedikit kecewa. Walau rentetan kronologi pertikaian di desa terus di elaskan.
Namun dari percakapan ini saya jadi mengingat bahwa politik demokrasi di desa memang cukup riskan.
Walaupun pemilihan dilaksanakan secara demokrasi tetapi hasil pemilihan bahkan dengan suara terbanyak masih menjadi biang konflik. Satu yang paling mendasar ialah "kecurangan".
Kelompok yang kalah selalu mencari cara melakukan pembelaan dan pembenaran. Sementara yang menang tentu saja mempertahankan.Â
Ironisnya, permasalahan ini tak bakalan selesai dengan sendirinya. Sebab, konflik sudah membara. Apalagi jika sudah dalam bentuk perkelahian dan pengrusakan fasilitas publik.
Jika sudah begini, apapun keputusan panitia pilkades tak bakal di terima. Sehingga satu-satunya konstitusi yang mampu menyelesaikan perkara ialah Dinas terkait.
Banyak sudah kasus terjadi. Konflik demokrasi desa dalam pemilihan kepala desa menimbulkan kerugian. Fisik maupun materi.
Kendati dapat diselesaikan dinas terkait, namun kekurangan selalu ada. Terutama ketika penetapan yang kalah menjadi pemenang. Â Sehingga keadaan semakin runyam. Pemerintah daerah dianggap mencederai demokrasi.
Pada dasarnya demokrasi desa adalah biang konflik. Beberapa hal mendasari yakni rendahnya pendidikan politik.Â