Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demokrasi dari Desa

15 Januari 2023   21:50 Diperbarui: 15 Januari 2023   22:09 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi desa itu rasanya nano-nano. Salah sedikit, konflik. Enak kalau politik demokrasi nasional. Kubu-kubu yang terbentuk secara umum jelas. Menang penguasa, kalah oposisi. 

Tetapi desa berbeda. Tendensinya pada tataran kekeluargaan, sakit hati, luka lama dan hal-hal semacam itu. Sensitif.

Begitulah yang saya amati beberapa mingu ini. Khususnya di Maluku Utara. Ketika beberapa kepala desa terpilih sudah dilantik, namun beberapa masih berperkara. Di bawah ke ranah pemerintahan daerah. Lobi-lobi dimainkan.

*

Saya sedang menimati pidato Politik dari Bu Megawati ketika notifikasi pesan WhatasApp berbunyi.

" Bro, saya dengar punya hubungan saudara dengan bupati,"? Tanya salah satu kenalan.

"Bagaimana ya," saya tak menjawab pertanyaan yang diajukan. 

Ia tak langsung menjawab. Beberapa menit kemudian, ia mengirim foto seseorang yang tak lain adalah ayah angkat saya.

"Maksudnya apa ya," tanya saya. Merasa sedikit terhakimi.

"Benar Bupati masih berkeluarha dengan saudara,? Tekan dia lagi.

" yang bersaudara dengan bupati ialah ayahh angkat saya. Bukan saya.," sembari menjelaskan silsilah keduanya.

"Kalau begitu tolong bantu saya. Bujuk Ayah angkat agar membisikan ke Bupati untuk memenangkan Kades di desa saya," pintanya.

"Waduh mohon maaf. Saya Oposisin". Jawaban yang membuatnya sedikit kecewa. Walau rentetan kronologi pertikaian di desa terus di elaskan.

Namun dari percakapan ini saya jadi mengingat bahwa politik demokrasi di desa memang cukup riskan.

Walaupun pemilihan dilaksanakan secara demokrasi tetapi hasil pemilihan bahkan dengan suara terbanyak masih menjadi biang konflik. Satu yang paling mendasar ialah "kecurangan".

Kelompok yang kalah selalu mencari cara melakukan pembelaan dan pembenaran. Sementara yang menang tentu saja mempertahankan. 

Ironisnya, permasalahan ini tak bakalan selesai dengan sendirinya. Sebab, konflik sudah membara. Apalagi jika sudah dalam bentuk perkelahian dan pengrusakan fasilitas publik.

Jika sudah begini, apapun keputusan panitia pilkades tak bakal di terima. Sehingga satu-satunya konstitusi yang mampu menyelesaikan perkara ialah Dinas terkait.

Banyak sudah kasus terjadi. Konflik demokrasi desa dalam pemilihan kepala desa menimbulkan kerugian. Fisik maupun materi.

Kendati dapat diselesaikan dinas terkait, namun kekurangan selalu ada. Terutama ketika penetapan yang kalah menjadi pemenang.  Sehingga keadaan semakin runyam. Pemerintah daerah dianggap mencederai demokrasi.

Pada dasarnya demokrasi desa adalah biang konflik. Beberapa hal mendasari yakni rendahnya pendidikan politik. 

Pendidikan politik masih sangat rendah di desa. Keterbukaan informasi menjadi hambatan yang paling utama. Sementara kontribusi terdekat semisal peran mahasiswa juga tak kuat. Mahasiswa belum membawa peran politik secara pasti ke desa. Lantaran sikap acuh bahwa politik itu mencedrai dimensi sosial.

Kedua, konflik antar warga. Luka lama adalah senjata utama melakukan kampanye. Setiap kandidat tentu memiliki permasalahan yang tak mungkin dilupakan oleh warga. Permasalahan iu biasanya abadi  walau tingkat penyelesaian telah selesai 

Ketiga, Kebanyakan pola pilkades diikuti oleh generasi tua. Generasi ini tentu memiliki karakter berbeda dengan generasi muda. Terutama pada watak politik. Kendati belakangan anak muda banyak mengikuti konstestasi tersebut, tetapi tendensi dan peluang masih belum memihak.

Bagi saya, penyelesaian konflik desa membutuhkan sebuah lembaga independen. Lembaga ini harus lepas dari internal desa maupun pemerintah daerah. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat diterima oleh semua orang. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun