"Saya bangga jadi petani. Walau lahan kami sebentar lagi bakal hilang,"Â
Begitulah sekilas pendengaran dari seorang petani yang memboncengi saya menuju Yogyakarta. Â Di tengah perjalanan itu, banyak cerita yang dibagikan.Â
Saya masih dalam rangkaian perjalanan di Magelang. Masih menginap di rumah Pak Bowo.
Dua hari di sini, saya berkenalan dengannya. Ngopi di teras rumah setiap malam. Lalu pada suatu kesempatan, ketika sedang menimbang opsi menuju Yogyarta karena suatu keperluan, ia menawarkan diri mengantar.Â
Alhasil, pada suatu sore. Ketika mendung sudah menyelimuti langit dan pokok hujan bersiap mengguyur Desa Ngluwar Kabupaten Magelang, Â kami berangkat.
Dari desa menuju lokasi tujuan tak cukup jauh. Tak sampa sejam. Desa ini berbatasan langsung dengan Yogyakarta.
Selama perjalanan inilah saya menikmati betul hamparan persawahan yang luasnya bukan main. Selama ini, saya hanya menikmatinya sepenggal-sepengal. Sawah yang sudah terjepit pembangunan dan alih fungsi lahan. Bertahan diantara megahnya peralihan tersebut.
Luas persawahan dan ladang ini bikin takjub. Menyegarkan. Enak di pandang mata. Saya menikmati perjalanan itu hingga ia berujar " di sini nanti lokasi pembangunan tol. Itu patoknya,".
Saya menoleh ke arah yang ditunjukannya. Melihat patok dari sebuah besi yang di cat.
" Akan lewat sini tolnya pak," tanyaku.
"Iya Mas. Dari situ tembus sampai sana," jelasnya sembari menunjuk perbukitan yang jauh di pandang mata.
Sungguh lahan yang luas sekali pikir saya dalam hati.Â
" ini sudah dijual petani ya," tanyaku lagi.
"Ya harus dijual to. Kan perencanaan tol le3at sini," ujarnya.Â
"Sayangnya. Kedepan kita bida kehikangan sawah dan pangan," sahutku.
"Gimana lagi mas. Kita yang kecil-kecil bertahan pun tidak bisa. Lagipula banyak juga warga desa yang anak-anaknya tak meneruskan jadi petani. Ya mending dijual," ujarnya. Sungguh sebuah ironi dan masalah krusial.Â
"Kalau saya sih bangga jadi petani mas. Biar kat orang profesi merendahkan tapi halal. Saya pernah kerja di Jakarta. Tapi karena tidak nyaman, saya balik lagi ke desa. Garap sawah," ceritanya.
Keputusan untuk bertani lantaran latar belakang di Jakarta yang baginya sangat sulit dan tidak bahagia. Sulit lantaran ia selama beberapa bulan menganggur sebelum mendapat pekerjaan. Tidak bahagia karena harus berjibaku dengan rutinitas yang tidak membikin jiwa tenang.
" terus lahan bapak masuk dalam jalur tol juga," tanyaku
"Beberapa lahan kena. Tiggal satu lahan yang tidak," jawabnya.
"Pak apa sih kendala yang dihadapi petani," tanyaku lagi penasaran.
"Tidak ada kendala mas. Paling hanya pupuk yang tidak sesuai standar. Gagal panen dan kadang ngutang juga. Tapi bagi kami petani itu sih sudah biasa. Untung  dua tiga juta sudah bagus mas," jelasnya.
" hambatan paling utama apa pak," tanyaku.
"Ya pupuk mas. Pertanuan itu rentan terhadap hama yang kadang bikin panen gagal. Kadang kami harus mengeluarkan duit besar hanya untuk menggarap lahan sepetak dua petak. Toko-tokoh yang ditunjuk sebagai agen pupuk yang di subsidi kadang main harga juga," jelasnya.
"Terus mengakalinya gimana," sahutku lagi.
"Ya ngutang mas. Pupuk harus di peroleh," jawabnya.
Kami terus mengobrol sepanjang perjalanan. Sesekali kami mampir menanyakan arah jalan. Sesekali pula, ia menunjukan jalur pembangunan tol.
"Bukit itu dulu tinggi sekali mas. Sekarang lihat saja bagaimana alat berat bekerja," jelasnya menunjukan sebuah bukit.Â
Bukit yang berada di sebuah perkampungan yang menurutnya semua rumah di sini sudah terjual. Sebentar lagi jika jalur sudah sampai sini, kita tidak bakal lagi melewati dan menikmati kampung ini.
Saya melihat-lihat bukit itu dengan beberapa alat berat bekerja mengeruk. Tentu bagi saya, pembangunan tol bukanlah perkara. Itu bagian dari konektivitas. Tetapi melihat dampak alam yang tergerus memang bikin pusing juga.
Perjalanan ke Jogjakarta kami isi dengan percakapan mengenai pertanian hingga cerita lucu. Di mana beberapa warga yang baru saja selesai membangun rumah justru harus dijual lagi lantaran jalur tol tepat berada disitu.
Sekembali dari Jogja ia mengikuti jalur lain. Jalur yang sekali-kali tak ada rumah. Isinya swah semua sejauh mata memandang.
"Waduh pak enak sekali lihat beginian," ujarku.
"Iya kan mas. Sengaja saya lewat sini agar mas bisa melihat betapa pertanian itu megah tak sekedar pandangan atas kekaguman semata," sahutnya dengan semangat.
" Saya bahagia menjadi petani mas. Tak perlu  repot-repot bangun awal pagi lalu buru-buru kerja seperti di Jakarta. Saya masih bisa menikmati kopi buatan istri. Bercanda. Mengantar anak sekolah. Di sawah saya suka memandangi perkembangan tanaman. Dari mulai nanam sampai panen. Bauh pupuk. Hingga nongkrong dengan petani lain," jelasnya panjang.
Kami berdua terus melewati hamparan persawahan itu. Sesekali berhenti lalu lanjut lagi. Hingga menjelang Magrib kami sudah sampai di desa.
"Kapan-kapan kalau balik lagi, saya ajak nanam ya," ujarnya sekaligus pamitan pulang.
Perkenalan dengannya membuat saya mendapatkan beberapa hal. Pertama, petani hanya butuh sistem yang tepat dalam perencanaan pembangunan pertanian. Utamanya input produksi.
Kedua, semakin hari semakin nyata bahwa pembangunan dan realitas regenerasi petani menjadi momok dalam dunia pertanian.Â
Pembangunan apapun itu, telah membikin peran besar dalam alih fungsi lahan. Sementara regenerasi telah membikin rantai sdm bidang pertanian memiliki celah.
Apapun itu, petani tetaplah petani. Mereka bekerja dan menikmati setiap hasil yang diusahakan. Walau pada tataran kebijakan keberpihakan selalu mendera (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H