"Tidak ada kendala mas. Paling hanya pupuk yang tidak sesuai standar. Gagal panen dan kadang ngutang juga. Tapi bagi kami petani itu sih sudah biasa. Untung  dua tiga juta sudah bagus mas," jelasnya.
" hambatan paling utama apa pak," tanyaku.
"Ya pupuk mas. Pertanuan itu rentan terhadap hama yang kadang bikin panen gagal. Kadang kami harus mengeluarkan duit besar hanya untuk menggarap lahan sepetak dua petak. Toko-tokoh yang ditunjuk sebagai agen pupuk yang di subsidi kadang main harga juga," jelasnya.
"Terus mengakalinya gimana," sahutku lagi.
"Ya ngutang mas. Pupuk harus di peroleh," jawabnya.
Kami terus mengobrol sepanjang perjalanan. Sesekali kami mampir menanyakan arah jalan. Sesekali pula, ia menunjukan jalur pembangunan tol.
"Bukit itu dulu tinggi sekali mas. Sekarang lihat saja bagaimana alat berat bekerja," jelasnya menunjukan sebuah bukit.Â
Bukit yang berada di sebuah perkampungan yang menurutnya semua rumah di sini sudah terjual. Sebentar lagi jika jalur sudah sampai sini, kita tidak bakal lagi melewati dan menikmati kampung ini.
Saya melihat-lihat bukit itu dengan beberapa alat berat bekerja mengeruk. Tentu bagi saya, pembangunan tol bukanlah perkara. Itu bagian dari konektivitas. Tetapi melihat dampak alam yang tergerus memang bikin pusing juga.
Perjalanan ke Jogjakarta kami isi dengan percakapan mengenai pertanian hingga cerita lucu. Di mana beberapa warga yang baru saja selesai membangun rumah justru harus dijual lagi lantaran jalur tol tepat berada disitu.
Sekembali dari Jogja ia mengikuti jalur lain. Jalur yang sekali-kali tak ada rumah. Isinya swah semua sejauh mata memandang.