"Iya Mas. Dari situ tembus sampai sana," jelasnya sembari menunjuk perbukitan yang jauh di pandang mata.
Sungguh lahan yang luas sekali pikir saya dalam hati.Â
" ini sudah dijual petani ya," tanyaku lagi.
"Ya harus dijual to. Kan perencanaan tol le3at sini," ujarnya.Â
"Sayangnya. Kedepan kita bida kehikangan sawah dan pangan," sahutku.
"Gimana lagi mas. Kita yang kecil-kecil bertahan pun tidak bisa. Lagipula banyak juga warga desa yang anak-anaknya tak meneruskan jadi petani. Ya mending dijual," ujarnya. Sungguh sebuah ironi dan masalah krusial.Â
"Kalau saya sih bangga jadi petani mas. Biar kat orang profesi merendahkan tapi halal. Saya pernah kerja di Jakarta. Tapi karena tidak nyaman, saya balik lagi ke desa. Garap sawah," ceritanya.
Keputusan untuk bertani lantaran latar belakang di Jakarta yang baginya sangat sulit dan tidak bahagia. Sulit lantaran ia selama beberapa bulan menganggur sebelum mendapat pekerjaan. Tidak bahagia karena harus berjibaku dengan rutinitas yang tidak membikin jiwa tenang.
" terus lahan bapak masuk dalam jalur tol juga," tanyaku
"Beberapa lahan kena. Tiggal satu lahan yang tidak," jawabnya.
"Pak apa sih kendala yang dihadapi petani," tanyaku lagi penasaran.