Haris pun kemudian melirik pembahasan mengenai kopi dan konsep yang unik. Ia aktif berbagi cerita dengan kakak saya.
Sementara Bu Mukiyem aktif mendengarkan. Nampak jelas dari wajah ibu dan anak ini. Bahwa warung kopi ini bisa lebih maju lagi.
Berbagai saran di terima keduanya. Pun dengan ibu Mutiyem yang mengingat-ngingat resep minuman lokal dari kakak saya.
"Jadi ada tiga ya yang harus saya coba. Kopi kayu manis, kopi pandan, dan kopi rempah ya," ujarnya sembari mengingat-ngingat. Sesekali beliau menghitung menggunakan jari.
Obrolan dengan keduanya memberikan sebuah gambaran bahwa ada harapan dan usaha serta belajar terus menerus untuk memajukan warkop mereka.
Antusiasme itu tidak pada tataran berapa rupiah yang bakal dihasilkan melainkan bagaimana menciptakan keunikan. Itulah yang menjadi dasar terutama Haris yang sudah hafal betul segmentasi pasar. Ia bahkan berniat belajar pada sosok yang pernah saya angkat dalam artikel.
Keunikan menjadi barang mahal. Warung-cafe di sini hanya menampilkan view dari pemberian Tuhan sementara keunikan tidak ada sama sekali.Â
Padahal view sudah punya nilai. Kenapa tidak ada keunikan yang menjadi pelengkap. Sajian yang sama. Kopi sasetan bahkan mie instan rupanya seragam.Â
Dari obrolan ini pula saya memperoleh gambaran betapa semangatnya kedua orang ini. Semangat untuk berbenah dan menerima saran sebagai pemilik usaha. Keduanya tetap memakai konsep warkop sebab menurut Haris, nama cafe punya segmentasi mahal dan jarang dikunjungi.