Jalur Selo masih menyisahkan cerita bagi saya. Beberapa kali kunjungan, ketertarikan dan kekaguman pada ladang-ladang di bawah kaki Gunung Merapi dan Merbabu ini.
Rumah-rumah yang berjejer dibukit-bukit, jalur berkelok-kelok, pemandangan dan udara yang asri, penduduk desa yang aktif bekerja di ladang, bau-bau khas tumpukan pupuk hingga suasana pedesaan yang begitu memikat.Â
Jalur yang menghubungkan Boyolali dan Magelang ini terhitung sudah saya lewati enam kali dalam dua bulan belakangan. Dan, tidak pernah ada sedikit pun rasa bosan menghantam. Apalagi bertemu dengan orang-orang dengan berbagai latar dan kisah yang memikat.
Salah satunya Bu Mukiyem dan anaknya Haris. Penduduk lokal yang membuka usaha warung kopi di Desa Samirang.
Pertemuan selalu terjadi karena ada sebab dan takdir, selalu punya cara tersendiri mempertemukan seseorang.Â
Begitupun dengan saya, bertemu Bu Sukiyem ketika mampir ke warung. Hujan dan kabut yang menyelimuti jalur Selo membawa saya ke sini.
***
Hujan deras disertai kabut tebal membuat jarak pandang terganggu. Motor yang saya pacu sesekali harus dipelankan. Menerka-nerka posisi tikungan dan jalan agar tidak salah.
Petaka bagi saya dan teman ialah tidak memakai jas hujan. Dan lebih sial lagi, saya hanya memakai kameja tanpa jaket sebagai pelindung.
Persiapan kami sangat minim dan terkesan nekat hanya untuk memenuhi hasrat kakak saya menikmati pemandangan di sini. Udara dingin begitu menusuk. Kedinginan terlanjur membungkus diri.Â
Dalam kondisi itu, motor tetap dipacu sembari melihat-lihat di mana tempat yang nyaman untuk berteduh.Â
Warung kopi sederhana yang terletak di pinggir jalan dan berdiri di atas sebuah bukit dengan pemandangan langsung ke Gunung Merapi menarik hasrat kami.
Warkop Gumuk Gede, begitulah yang tertulis di papan nama. Empat Gazebo dari bambu beratap terpal, dikelilingi ladang yang tertanam sawi dan sayuran holtikultura lainnya. Posisinnya tepat menangadah kaki Gunung Merpapi dengan pemandangan ladang serta perumahan warga.
Seorang ibu yang duduk di balik bilik warung menanyambut kami. Ia ibu Mukiyem.Â
"Bu, ada kopi?"
"Ada. Mau Kopi apa?" tanya Bu Mukiyem.
"Ada kopi Lokal?" tanya kami Kembali.
" Tidak ada. Hanya kopi sasetan," jawabnya sembari menunjuk deretan kopi sasetan yang tergantung berjejer pada sebuah tali rapiah. Ciri khas warung-warung kecil di Indonesia.
Kami pun memilih kopi sasetan tersebut dengan perpaduan susu. Tak lupa mie instan sebagai pengganjal perut.
Bu Mukiyem dengan cekatan membuatkan pesanan kami. Kopi yang kami pesan terlebih dulu disajikannya dengan ukuran gelas yang tak biasa. Gelas besar "ukuran tobat".Â
Hujan dan kabut semakin menjadi-jadi. Menunggu Bu Mukiyem memasak mie, saya memilih menikmati pemandangan asri di sekilingginya.Â
Melihat petani yang tak beranjak menggarap tanah, dan lalu lalang kendaraan yang terpacu kencang karena hujan.
Di belakang warkop, ladang yang digarap di lereng bukit membuat saya penasaran.Â
"Bu, ini ladang siapa?" tanyaku
" Yang mana Mas?" ia keluar mendengar pertanyaan yang saya ajukan. Setelah memahami maksud pertanyaan yang saya ajuka, ia pun menjawab.
"Oh itu ladang kami. Mau dtanam sawi. Kemarin tanam tembakau. Karena musim sudah berganti jadi kami tanam sayur," jawabnya.
Pantas saja, sebulan lalu ketika melewati jalur ini masih banyak tanaman tembakau yang tertanam. Sekarang berganti sayuran dan tanaman holtikultura lainnya.
Kami pun mengobrol perihal kondisi pertanian di sekitarnya. sebelum ia masuk dan melanjutkan membuat pesanan yang kami pesan.
Ibu Mukiyem merupakan penduduk desa sebelah. Rumahnya berada di perbukitan Gunung Merapi.Â
Selain sebagai petani, warung kopi yang baru didirikan beberapa tahun ini juga menjadi seumber rezekinya.Â
Setiap hari Ia membuka warung. Tepatnya dibuka saat siang hari. Hal itu lantaran banyak pelanggan saat siang hari hingga menjelang sore ketimbang pagi hari.Â
Seorang lelaki muda masuk. Menerobos langsung ke dalam dapur. Di gantung jas hujan, kemudian mengambil handpone lalu menyetel musik jawa. Ah sungguh anak lelaki ini paham betul. Suasana seperti ini patut diiringi musik.
"Ini anak saya. Yang kuliah di Solo itu," ujar Bu Mukiyem sembari menyajikan mie instan.Â
Bu Mukiyem punya dua anak. Satu anak sudah berkuliah dan satu masih duduk di bangku SMP.
Dan, anak barusan yang menyetel musik bernama Haris. Anak pertama yang kuliah Seni di Solo, sudah semester 7. Ia selalu kembali ke desa dan membantu ibunya berdagang setiap Sabtu dan Minggu. Dan kembali lagi ke Solo Minggu malam.
Susasana masih kabut walau hujan sudah berhenti. Obrolan dan perkenalan selalu terjalin begitu hangat. Berbagi cerita dan asal usul masing-masing.Â
"Bu, hari apa biasanya ramai?" tanya saya.
"Biasanya Sabtu dan Minggu. Kalau hari lain biasa saja. Ya satu dua pelanggan," jawab Bu Mukiyem.
"Berapa pendapatan per hari?" balasku.
Ibu Mukiyem tampak malu-malu. Pun dengan Haris yang menjawab tergantung. Keduanya saling melirik. Setelah sedikit paksaan, keduanya pun menjawab.
"Kalau hari biasa ya 200-300 ribu. Kalau sabtu minggu bisa mencapai 500 ribu. Tergantung sebenarnya," jawab Haris.
"Bu. Apakah di sini tidak ada yang menanam kopi?" tanya saya lagi.
"Tidak ada. Banyak tanaman sayuran. Sebenarnya dulu ada," jawabnya.
Kami pun mengobrol banyak perihal kopi. Tentang kenapa kopi lokal dengan seduhan orang lokal banyak diburu. Diskusi kami pada akhirnya menjurus kepada konsep warkop yang hendak dicapai Bu Mukiyem dan Haris
"Bu. Kalau saran kami, coba tanam kopi di ladang ini. Jadikan tanaman jarak saja bu," ujar kakak saya.
Bu Mukiyem merasa tertarik. Baru pertama ia mendengar konsep kopi dan dunia perkopian. Ia mengajak saya keluar dan diminta menunjukan di mana kopi harus di tanam.Â
Saya hanya memberikan saran agar kopi bisa ditanam di pinggir dengan jarak tertentu. Bu Mukiyem semakin tertarik. Mondar-mandir lagi sebelum masuk dan ikut bergabung bersama anak dan kakak saya.
Haris lebih tertarik lagi. Anak seni ini punya banyak konsep di kepalanya. Ia tak mau warkopnya hanya sekadar warkop tetapi punya keunikan tersendiri.
Apalagi, ketika saya mengatakan banyak cafe dan warung kopi yang berdiri di sepanjang jalur ini tidak atau beluk memberikan sesuatu yang unik.
Haris pun kemudian melirik pembahasan mengenai kopi dan konsep yang unik. Ia aktif berbagi cerita dengan kakak saya.
Sementara Bu Mukiyem aktif mendengarkan. Nampak jelas dari wajah ibu dan anak ini. Bahwa warung kopi ini bisa lebih maju lagi.
Berbagai saran di terima keduanya. Pun dengan ibu Mutiyem yang mengingat-ngingat resep minuman lokal dari kakak saya.
"Jadi ada tiga ya yang harus saya coba. Kopi kayu manis, kopi pandan, dan kopi rempah ya," ujarnya sembari mengingat-ngingat. Sesekali beliau menghitung menggunakan jari.
Obrolan dengan keduanya memberikan sebuah gambaran bahwa ada harapan dan usaha serta belajar terus menerus untuk memajukan warkop mereka.
Antusiasme itu tidak pada tataran berapa rupiah yang bakal dihasilkan melainkan bagaimana menciptakan keunikan. Itulah yang menjadi dasar terutama Haris yang sudah hafal betul segmentasi pasar. Ia bahkan berniat belajar pada sosok yang pernah saya angkat dalam artikel.
Keunikan menjadi barang mahal. Warung-cafe di sini hanya menampilkan view dari pemberian Tuhan sementara keunikan tidak ada sama sekali.Â
Padahal view sudah punya nilai. Kenapa tidak ada keunikan yang menjadi pelengkap. Sajian yang sama. Kopi sasetan bahkan mie instan rupanya seragam.Â
Dari obrolan ini pula saya memperoleh gambaran betapa semangatnya kedua orang ini. Semangat untuk berbenah dan menerima saran sebagai pemilik usaha. Keduanya tetap memakai konsep warkop sebab menurut Haris, nama cafe punya segmentasi mahal dan jarang dikunjungi.
Obrolan begitu panjang. Detail-detail dibicarakan. Tentu paling penting ialah semangat keduanya. Tak surut obrolan jika kami tidak pamit pulang.
Ketika waktu sudah menunjukan pukul lima sore dan kabut masih terus menghantam. Kami memutuskan pulang. Pamitan kami dengan penuh kehangatan dan berjanji bakal kembali lagi dan mencicipi menu baru hasil kolaborasi ide yang terbahas.
Bu Mukiyem dan Haris adalah sosok-sosok luar biasa. Memanfaatkan anugerah alam dengan ide dan usaha guna bertahan hidup.Â
Kehidupan sebagai petani tak cukup banyak memberi pemasukan sehingga berdirinya warkop diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H