"Apanya yang rusak," tanyaku.
"Provider sampai tv nya," ucapnya.
"Penyebabnya," sambungku.
"Listik Kak. Voltasenya naik turun. Sejak masuk listrik barang-barang banyak rusak," cetusnya lagi.Â
Sungguh sayang sekali. Televisi nenek satu-satunya itu harus rusak. Entah apalagi yang bisa diperbuatnya.
"Jadi nenek nonton di mana," tanyaku penasaran.
"Di tetangga rumah," jawabnya.Â
"Duh,"Â
Aku mengingat betul pertama kali televisi itu terpasang di rumah. Nenek riang, gembira. Ketika gambar televisi tertayang, kehidupan seperti hidup kembali. Sesekali ia menunjuk-nunjuk layar kaca televisi. Tepat kepada wajah aktor yang antagonis. Memarahi. Sesekali ia sedih sejadi-jadinya. Sesekali pula kelucuan tercipta atas tingkahnya.
Kehadiran televisi membuat anaknya di desa juga legah. Tak perlu lagi kuatir ibu mereka menerobos gelapnya malam desa. Tak mampu mereka melarang. Sekali melarang semakin jadi. Sifat manusia seperti kembali ke awal kehidupan seiring umur tak mampu terkalihkan lagi.
Menerobos malam hanya untuk menonton televisi bukanlah kebiasaanya. Ia lebih suka duduk di teras. Sehabis makan, sehabis Magrib. Duduk di kursi  pelastik kesayangannya sembari menegur siapa saja yang lewat. Pun hangat menyambut satu persatu tamu yang selalu datang tiap malam.