"Om-om, bibi-bibi, Jujaru dan ngongare. Bertemu lagi bersama Om Desa, menyiarkan langsung dari stasiun RRI Ternate. Inilah seputar berita.......,".
Suara itu menjadi ciri khas bagi warga di desa. Sore hari, setelah Ba'da Asyar. Terkenal suaranya walau tak kenal orangnya.Â
Om Desa adalah pembawa acara sekaligus penghibur pengonyak perut. Menyiarkan berita nasional hingga daerah tembus ke pelosok dusun. Ciri khas dengan cita rasa keunikan.Â
Radio-radio tua bertenaga baterai selalu terputar dengan frekuensi yang terhafal mati. Duduk menikmati kopi sembari menunggu ba'dah Magrib.
Aku memperhatikan itu. Ketika kakek menyetel radio-- sepulang dari kebun--duduk menangadah pisang atau sukun goreng hidangan nenek. Kehangatan dalam kekeluargaan. Radio mengiringi tumbuh kembang keluarga di desa.
Setidaknya itu dulu, ketika Radio menjadi satu-satunya sarana informasi dan hiburan. Atau masa di mana curahan hati masih terbungkus rapi dalam amplop bernama surat.Â
Jauh sudah nan kisah itu ditarik ke belakang. Sepi telah menjadi tamu abadi, suara-suara menggantung dan riang tawa kehilangan tempat. Ruang tamu, kamar, dapur, teras dan rumah kehilangan keceriaan. Penghuni satu persatu pergi. Menjalani hidup dan akhir dari perjanjian masa hidup. Kenangan.
*
Suatu saat.....
"Televisi di rumah nenek itu sudah rusak Kak," cetus Faisal. Anak dari paman tertua yang kebetulan datang berkunjung kek kota.
"Apanya yang rusak," tanyaku.
"Provider sampai tv nya," ucapnya.
"Penyebabnya," sambungku.
"Listik Kak. Voltasenya naik turun. Sejak masuk listrik barang-barang banyak rusak," cetusnya lagi.Â
Sungguh sayang sekali. Televisi nenek satu-satunya itu harus rusak. Entah apalagi yang bisa diperbuatnya.
"Jadi nenek nonton di mana," tanyaku penasaran.
"Di tetangga rumah," jawabnya.Â
"Duh,"Â
Aku mengingat betul pertama kali televisi itu terpasang di rumah. Nenek riang, gembira. Ketika gambar televisi tertayang, kehidupan seperti hidup kembali. Sesekali ia menunjuk-nunjuk layar kaca televisi. Tepat kepada wajah aktor yang antagonis. Memarahi. Sesekali ia sedih sejadi-jadinya. Sesekali pula kelucuan tercipta atas tingkahnya.
Kehadiran televisi membuat anaknya di desa juga legah. Tak perlu lagi kuatir ibu mereka menerobos gelapnya malam desa. Tak mampu mereka melarang. Sekali melarang semakin jadi. Sifat manusia seperti kembali ke awal kehidupan seiring umur tak mampu terkalihkan lagi.
Menerobos malam hanya untuk menonton televisi bukanlah kebiasaanya. Ia lebih suka duduk di teras. Sehabis makan, sehabis Magrib. Duduk di kursi  pelastik kesayangannya sembari menegur siapa saja yang lewat. Pun hangat menyambut satu persatu tamu yang selalu datang tiap malam.
Nenek-nenek sesuai mereka sering berkunjung. Kursi pelastik biru kesukaannya ibarat saksi betapa ia bahagia berbagi cerita bersama mereka. Apapun dibahas.Â
Lama berlalu kebiasaan itu tak lagi berjalan. Ia masih tetap duduk di kursi biru kesayangan tersebut. Namun sudah tak nampak lagi aktivitas bersama. Paling-paling satu dua orang warga desa yang mampir. Kesimbangan generasi nampak jelas. Kesunyian sudah mendera.Â
Waktu telah merapatkan sepi pada uzurnya umur. Memeluk erat hingga ke dalam diri. Kehilangan tak lagi bisa diubah. Ia melalui itu. Seperti ubanan yang tak menyisahkan satu helaipun di kepala. Waktu dan generasi adalah dimensi yang yang tak terelakan.
Ia mungkin pengawal abadi dari kehilangan-kehilangan. Menitikan air mata dan memanjatkan doa agar keselamatan di akhirat diperoleh pada setiap kepergian. Setiap kali kabar datang, wajah sedihnya tak mampu disembunyikan. Air mata tak mampu terbendung.Â
Sesekali ia menyuarakan wasiat, Â menghitung-hitung kapan tiba waktunya. Seperti hidup dunia tak begitu lagi menarik dalam balutan kesunyian.
 "Baiklah nanti kita belikan yang baru," sahutku pada Faisal.
Televisi itu rupanya sudah setahun rusak. Dan belakangan ketika bosan sudah menyerang lantaran capek berjalan ke rumah tetangga. Nenek lebih memilih tidur. Dan murung lebih sering.
Satu set televisi lengkap dengan Parabola dan Provider kemudian terbeli. Faisal membawa pulang barang itu ke kampung.
Dua hari kemudian Ia mengabarkan " Kak, nene sekarang sudah senyum-senyum,"Â
"Kenapa,?" Tanyaku.
"Televisi sudah jadi. Nenek sekarang lebih banyak di rumah dan sudah sering ketawa," jawab ical.
Sungguh kebahagian itu sederhana. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H