" saya tidak tertarik menanam tembakau. Ya memang tidak bisa dinafikan bahwa sistem pertanian disini sudah mengkar. Tembakau dan sayur adalah pertanian umum di sini. Memang tembakau punya harga, apalagi sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan. Namun bagi saya, ada peluang lebih besar. Alam sudah punya, nilainya sudah rupiah, dan peluang itu adalah kopi," bebernya.
"Terus apakah sejauh ini, sejak bapak merintis, adakah anak muda yang tertarik," tanya kami.
"Sejauh ini belum. Hanya beberapa anak muda pemilik cafe dari bawah yang datang belajar dan anak saya yang laki-laki. Selebihnya belum,"ujarnya.
Ia sendiri memberkan belum ada masyarakat atau anak muda di desanya tertarik berbisnis kopi. Konsentrasi masih pada paham turun temurun yakni bertani seperti biasa.
Pak Mardadi tak mempersoalkan itu. Baginya, peluang bisnis menjanjikan ini masih butuh perbaikan terutama bagi dirinya dan mimpi besarnya.
Selain bermimpi lahannya diisi pohon kopi, ia punya harapan punya cafe yang bakal didirikan di lahan belakang rumahnya. Lahan luas yang menangadah langsung pada pemandangan indah sejauh mata.
*
Pertemuan dengan Pak Mardadi adalah sebuah kemujuran. Bertemu dengan orang-orang yang punya cara pandang berbeda. Mampu melihat peluang besar ditengah arus mainstrem konvensional.Â
Tentu, perjalanan masih panjang. Namun apa yang dilakukannya adalah upaya merubah pola pikir. Sosok luar biasa pembelajar ulet ini bagi saya sangat hebat. Belajar terus menerus dalam meningkatkan kemampuan mengolah kopi dan bisnis.