Pak Mardadi begitu ia memperkenalkan diri ketika saya hendak melanjutkan perjalanan ke Magelang.Â
Dua pekan sudah saya wara-wiri di Jawa Tengah. Membantu penelitian beberapa kawan. Dan Jalur ini, terhitung sudah dua kali dijajal. Pertama dari arah Kota Magelang ke Solo dan hari ini sebaliknya.
Sejak memacu kendaraan roda dua dari Solo, saya dan kawan bersepakat bakal mampir menikmati kopi di puncak. Dan di sinilah kami, di warung unik yang tanpa sengaja terpilih.Â
Kami berkenalan. Dan foto bersama lantaran kekaguman pada apa yang dilakukannya. Setelah sesi foto, saya ngobrol sebentar dan berjanji esok bakal mampir saat jalan balik  dari Magelang ke Solo.
Pukul sebelas tiga puluh menit, esok harinya, kami sampai di warung kopi ini kembali. Setelah sedikit melewati kepungan kabut yang menggantam. Memang tidak separah hari sebelumnya ketika saya dan teman terpaksa memacu kendaraan dengan hati-hati.
"Maaf pak, agak telat," ujarku meminta maaf lantaran menjanjikan akan datang pukul delapan atau sembilan pagi.
Pak Mardadi tidak mempersoalkan itu. Ia dengan sigap menyiapkan kopi. Sudah hafal betul kopi apa yang hendak kami pilih.
Kopi robusta dan arabica bubuk dalam toples di ukurnya memakai pengukur corong. Kemudian di letakan di atas gelas yang sudah terlapisi saringan dari sebuah kertas khusus.Â
Tidak langsung di seduh. Ia masih menunggu beberapa saat hingga teko air panas yang berada tepat di bawah kaki mendidih. Di rasa suhu air sudah tepat, ia lalu menyeduh.