Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lelaki Penyeduh Kopi di Jalur Selo Boyolali-Magelang

7 Oktober 2022   08:14 Diperbarui: 7 Oktober 2022   23:29 2284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lekaki Penyeduh Kopi di Jalur Selo Boyolali-Magelang (dokpri)

"Mau pesan Arabica atau Robusta?," tanya lelaki gondrong  pemilik warung kopi.

Keheranan nampak menyapa lewat pertanyaan tak biasa tersebut. Sempat menerka sesaat maksud pertanyan tersebut namun tak juga logika bersepakat. Kopi saseten yang hendak kupilih urung tertunjuk. Teralihkan dengan aktivitas lelaki berambut gondrong ini di dalam warung.

Ia sedang menyeduh kopi pesanan pelanggan. Diseduh dengan cara tak biasa. Mirip barista profesional namun dengan alat seadanya.

Kawan saya, lebih terheran-heran lagi. Penikmat kopi garis keras dengan lidah jalanan hingga cafe ini spontan berujar " loh kok bisa warung begian nyediakan penyajian kopi seperti di cafe-cafe," 

Wajar saja keheranan menerpa kami berdua. Sepanjang pengalaman kami, warung kopi yang berdiri seadanya di pinggir-pinggir jalan biasanya hanya menyeduh kopi saseten.

Di sobek, lalu disiram air panas dari termus atau air mendidih, kemudian disajikan.  Warung-warung yang kecil menyediakan kopi saseten juga aneka jualan semisal mie, gorengan ataupun cemilan lain. 

Tampilannya memang sama seperti warung kopi lain, di Gang-gang, pinggir jalan, di kawasan puncak atau jalur-jalur antar kabupaten, kota hingga provinsi. 

Menariknya, warung ini tidak sekedar menjual view di Jalur Selo Boyolali-Magelang nan indah. Terapit oleh Gunung Merapi dan Merbabu. Tersaji bukit-bukit dan berbagai tanaman ekonomis yang memanjakan mata. 

Warung kopi di Desa Candi baru ini menawarkan kenikmatan seduhan kopi ala barista profesional. Tentu, tidak sekedar seduhan, melainkan cita rasa yang berkualitas dari penyeduh yang belajar secara otodidak.

                                              *

Bersama Pak Mardadi di depan Warung. Dokpri
Bersama Pak Mardadi di depan Warung. Dokpri

Pak Mardadi begitu ia memperkenalkan diri ketika saya hendak melanjutkan perjalanan ke Magelang. 

Dua pekan sudah saya wara-wiri di Jawa Tengah. Membantu penelitian beberapa kawan. Dan Jalur ini, terhitung sudah dua kali dijajal. Pertama dari arah Kota Magelang ke Solo dan hari ini sebaliknya.

Sejak memacu kendaraan roda dua dari Solo, saya dan kawan bersepakat bakal mampir menikmati kopi di puncak. Dan di sinilah kami, di warung unik yang tanpa sengaja terpilih. 

Kami berkenalan. Dan foto bersama lantaran kekaguman pada apa yang dilakukannya. Setelah sesi foto, saya ngobrol sebentar dan berjanji esok bakal mampir saat jalan balik  dari Magelang ke Solo.

Pukul sebelas tiga puluh menit, esok harinya, kami sampai di warung kopi ini kembali. Setelah sedikit melewati kepungan kabut yang menggantam. Memang tidak separah hari sebelumnya ketika saya dan teman terpaksa memacu kendaraan dengan hati-hati.

"Maaf pak, agak telat," ujarku meminta maaf lantaran menjanjikan akan datang pukul delapan atau sembilan pagi.

Pak Mardadi tidak mempersoalkan itu. Ia dengan sigap menyiapkan kopi. Sudah hafal betul kopi apa yang hendak kami pilih.

Dokpri
Dokpri

Kopi robusta dan arabica bubuk dalam toples di ukurnya memakai pengukur corong. Kemudian di letakan di atas gelas yang sudah terlapisi saringan dari sebuah kertas khusus. 

Tidak langsung di seduh. Ia masih menunggu beberapa saat hingga teko air panas yang berada tepat di bawah kaki mendidih. Di rasa suhu air sudah tepat, ia lalu menyeduh.

Ia nampak fokus. Tidak sekalipun aku melihat ia menyeduh dengan pandangan teralihkan dari gelas kopi. Di perhatikannya proses itu hingga kopi terseduh sempurna. Itu nampak diwajahnya.

Pria berumur empat puluh sembilan tahun ini tetap berdiri memperhatikan. Nampak jelas wibawahnya. Topi khas yang dikenakan menutupi rambutnya yang gondrong. Sorot matanya tajam. 

Tiga menit kemudian, kopi disajikan. Ia kemudian bergabung dengan kami. Sesekali di sela obrolan,  ketika datang pelanggan obrolan terhenti sesaat.

Memerhatikan pak Mardadi Membuat Kopi (dokpri)
Memerhatikan pak Mardadi Membuat Kopi (dokpri)

"Sudah berapa lama jualan pak," tanya ku.

"Terhitung sudah dua tahun atau sejak pandemi,' jawabnya.

"Terus rahasianya apa? Kok bisa bikin kopi seenak ini. Apakah bapak seorang barista?" tanya ku penasaran.

"Waduh saya belajar otodidak. Tidak pernah belajar jadi barista atau kerja di Cafe," jawabnya membuat kami lagi-lagi heran. Bukan seorang barista tetapi racikan kopinya begitu sempurna.

Ia pun menceritakan. Sejak muda, pria dua anak ini menjalani sebagian hidupnya sebagai seorang perantau. 15 tahun di Kalimantan, kemudian beberapa tahun di Jakarta dan 4 tahun di Manokwari sebagai sopir barang. 

Di perantauan terakhirnya inilah, ia mengenal dan belajar cara mengolah kopi secara otodidak. Salah satu cafe di Manokwari, Papua selalu disambanginya. 

Kopi seduhan pak Mardadi (dokpri)
Kopi seduhan pak Mardadi (dokpri)

Ia tak mempelajarinya langsung. Melainkan hanya mengandalkan kecekatan mata. Dari mulai penyeduhan hingga tersaji direkamnya dalam ingatan. 

Barulah ketika pulang kembali saat pandemi mendera, ia memberanikan diri membuka warung kopi dan meracik kopi. Ketertarikannya juga didasari atas penghilatannya pada potensi yang terpampang di depannya.

" Saya lihat ada potensi bisnis yang belum tergarap dengan baik. Beberapa cafe besar saya lihat paling laku ialah kopi. Kenapa tidak memanfaakan peluang ini," ujarnya.

Iapun memberanikan diri membuka warung. Awalnya berlokasi lima atau enam meter di cafe saat ini. Namun terpaksa harus di tutup oleh pihak berwajib lantaran masih dalam  keadaan covid.

Ia pindah beberapa ratus meter ke lokasi sebelumnya. Namun ditutup lagi lantaran dianggap merusak pemandangan. 

Ia sempat frustasi. Namun dorongan dari saudaranya, membuatnya kembali berbisnis. Warung dengan struktur dasar besi ini berdiri tepat di lahan saudaranya dengan modal pembuatan warung sebesar sepuluh juta rupiah. Modal ngutang tentunya.

Warung Pak Mardadi (dokpri)
Warung Pak Mardadi (dokpri)

"Terus kalau belajar sendiri, apa rahasianya kok kopi bisa enak," tanya kawanku.

"Saya racik sendiri. Semua saya pelajari secara otodidak. Dan formulanya ialah mulai dari proses awal," jawabnya.

"Proses awal gimana pak," tanya kami lagi.

"Saya mulai dari pemilihan kopi, penjemuran hingga sangrai dilakukan sendiri. Kalau proses dihaluskan baru pakai mesin di cafe. Bayar duapuluh ribu," bebernya.

"Emang kopi dapat dari mana? Beli dari petani ataukah di cafe," tanyaku.

"Saya punya beberapa pohon kopi, terus beli dari petani dan cafe. Paling sering beli dari petani karena bisa metik sendiri," ujarnya.

"Berapa beli dari petani? Memangnya di sini ada kopi," tanya ku keheranan lantaran sejauh mata memandang hanya ada tembakau dan sayur-sayuran yang memenuhi perbukitan.

" kalau dari petani murah sekilo 15-20 ribu. Beda sama di cafe, bisa ratusan ribu perkilo. Kopi ada tapi hanya tanaman di pinggir rumah. Dulu petani di kasih bantuan suru nanam kopi. Tapi tidak jalan. Dna saya cenderung lebih memilih kopi metik langsung ketimbang beli dari cafe," ujarnya.

Disela obrolan (dokpri)
Disela obrolan (dokpri)

Pak Mardadi pun membeberkan kenapa ia memilih memetik dan memprosenya sendiri. Bagi pak Mardadi, salah satu rahasia kenapa kopinya mirip olahan barista di cafe terletak pada prosss penjemuran.

Kopi hasil pemetikannya diutamakan yang sudah matang atau merah. Tidak sekalipun ia memetik kopi yang masih hijau kemerahan. Rasanya akan lain. 

Biji kopi itu kemudian di jemur selama sebulan dengan durasi yang di atur. Hanya dari jam 7 sampai jam 11. Setiap hari ia lakukan itu.

Biji kopi pemetikan langsung dijemur tanpa dikelupas bijinya. Setelah sebulan, pemilihan grade dilakukan. Kemudian di rendam. Kopi yang tidka tenggelam di buang.  Kemudian, dikelupas kulitnya lalu dibawa ke cafe untuk penggilingan.

Ia pernah mencoba membeli dari cafe, 10 kg namun ketika diolah kembali yang benar-benar dipakai hanya 3 kg.

" itu bapak ketahui dari mana," masih dengan nada penasaran yang tiada habisnya.

"Saya memakai naluri saya saja," tegasnya.

"Lalu, apa bedanya,"

"Rasanya beda dari proses sendiri dan beli. Karena kalau proses sendiri kita bisa memilih kopi yang benar matang. Sementara produk lain, yang hijau kemerahan pun dipetik lalu di campur. Dilakukan karena mementingkan rupiah daripada kualitas. Jadinya kurang enak," bebernya.

Menimati kopi dan pemandangan apik (dokpri)
Menimati kopi dan pemandangan apik (dokpri)

Saya hanya geleng-geleng kepala. Sungguh pembelajar yang gigih dalam hatiku. Kami terus mengobrol. Keheranan kami baginya sudah biasa. Banyak sudah orang yang mengatakan apa yang kami rasakan. Bahwa olahan kopinya enak.

Rahasianya yang lain ialah, komposisi antara kopi dan naluri suhu air panas. Baginya itu kehalian dari pribadinya yang ia pelajari secara terus menerus.

Saya menyentil perihal bantuan apa yang selama ini diperoleh untuk mendukung bisnisnya. Namun sejauh ini tak ada satupun bantuan baik modal ataupun alat.

"Pernah dulu ada pihak terkait minum kopi di sini dan bilang kooi saya enak. Terus di suruh masukan proposal. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Pernah juga ada yang dtaang suruh ngisi formulir buat pendanaan dan semuanya juga tak ada kejelasan," bebernya.

Baginya, tidak masalah ada bantuan atau tidak sebab rejeki sudah diatur dan dijamin Tuhan bagi orang-orang yang berusaha. 

Dalam berusaha, sentimen tentu selalu hadir. Utamanya pandangan bahwa kopi tidak dapat menghidupi. Ia punya lahan namun tidak tertarik untuk menjadi petani yang memanfaatkan lahan hanya untuk menanami tembakau dan sayur.

Penyuka kopi sejak kecil ini punya pemikiran lain. Lahan kebunnya akan ia tanami kopi. Apalagi di daerah ini, belum ada masyarakat yang menabam kopi. Padahal potensinya sangat besar.

Dokpri
Dokpri

" saya tidak tertarik menanam tembakau. Ya memang tidak bisa dinafikan bahwa sistem pertanian disini sudah mengkar. Tembakau dan sayur adalah pertanian umum di sini. Memang tembakau punya harga, apalagi sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan. Namun bagi saya, ada peluang lebih besar. Alam sudah punya, nilainya sudah rupiah, dan peluang itu adalah kopi," bebernya.

"Terus apakah sejauh ini, sejak bapak merintis, adakah anak muda yang tertarik," tanya kami.

"Sejauh ini belum. Hanya beberapa anak muda pemilik cafe dari bawah yang datang belajar dan anak saya yang laki-laki. Selebihnya belum,"ujarnya.

Ia sendiri memberkan belum ada masyarakat atau anak muda di desanya tertarik berbisnis kopi. Konsentrasi masih pada paham turun temurun yakni bertani seperti biasa.

Pak Mardadi tak mempersoalkan itu. Baginya, peluang bisnis menjanjikan ini masih butuh perbaikan terutama bagi dirinya dan mimpi besarnya.

Selain bermimpi lahannya diisi pohon kopi, ia punya harapan punya cafe yang bakal didirikan di lahan belakang rumahnya. Lahan luas yang menangadah langsung pada pemandangan indah sejauh mata.

*

Nampak dari depan (dokpri)
Nampak dari depan (dokpri)

Pertemuan dengan Pak Mardadi adalah sebuah kemujuran. Bertemu dengan orang-orang yang punya cara pandang berbeda. Mampu melihat peluang besar ditengah arus mainstrem konvensional. 

Tentu, perjalanan masih panjang. Namun apa yang dilakukannya adalah upaya merubah pola pikir. Sosok luar biasa pembelajar ulet ini bagi saya sangat hebat. Belajar terus menerus dalam meningkatkan kemampuan mengolah kopi dan bisnis.

Di akhir obrolan kami pamit dan saling berbagi kontak. "Jangan lupa follow Ig saya ya. Kopi Pengkollan Candi Baru," 

"Siap pak," ujarku. Sungguh pria hebat. Semoga saat kita ketemu lagi, saya sudah bisa menikmati racikan kooi otodidak di cafe impiannya. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun