"Gempuran produk wajah dengan anekaisasi kegunaan dan segment, menyingkirkan hegemoni bedak tradisional yang turun temurun digunakan. Dari praktek pembuatan dan pemakaian."
Dua tiga ibu tertawa pecah di Parigi;sumur. Bahasan mereka mengundang gelak tawa satu dengan lainnya. Saya menengok dari balik jendela kamar, kudapati mereka sedang mengulek dan menumbuk beras. Juga tertangkap, ada kunyit, beberapa lembar dedaunan. Dan, beberapa bahan yang samar dalam penglihatan
Saya urung keluar rumah. Gerah masih lebih baik ketimbang keperkasaan matahari yang tiada dua di luar sana. Duduk di pinggir pantai percuma saja, hawa menyegat tak mampu ditengadah nyiur angin dan rimbunan pepohon kelapa.
Beberapa bulan ini keperkasaan mentari tiada dua. Sekedar keluar siang hari adalah perkara sendiri.Â
Dari kamar, saya mencari angin ke teras rumah. Gerah dalam rumah yang rata-rata beratap rendah sudah mulai cukup menyiksa. Di teras, sudah ada beberapa anak desa yang ikut ngadem. Membuka baju lalu duduk pasa jalur berhembusnya angin.Â
Di wilayah pesisir begini, hawa panas sudah bagian alamiah. Tak ada kata "udara" dingin, kecuali menjelang subuh hari atau ketika hujan sedang mengguyur.
Dua tiga ibu-ibu tadi dengan bertudung kain kecil di kepala berjalan pulang. Menenteng baskom kecil yang isinya hasil gilingan bahan-bahan tadi.
"Mama bikin apa," tanyaku.
"Bikin pupur; bedak dingin; bedak giling, bahasa kami." Sahut salah satunya.
Bahan-bahan tadi rupanya bahan untuk pupur. Bedak giling yang selalu dipakai warga desa. Metode perawatan wajah di desa turun temurun. Baru kali ini lagi saya melihat warga kembali membuat. Sudah lama, tak terjumpai proses pembuatan pupur dalam kehidupan sosial.
Masih di teras rumah, aku perhatkan dua gadis  remaja wanita di depan rumah sedang asik menyekakan sesuatu ke wajah mereka. Dengan kaca kecil, mereka nampak serius.Â
Lima menit berselang, wajah tanpa riasan berubah, terpenuhi warna putih keabu-abuan. Rupanya kedua gadis ini sedang memakai pupur. Setelah itu, saya lihat mereka berdua berjalan ke luar rumah lalu menuju arah selatan desa.
Adik saya, dari dalam rumah, tiba-tiba keluar dengan memegang sebuah piring kecil yang di isi air secukupnya. Lalu di keluarkan sebuah potongan bulat mirip kelereng, dihancurkan ke dalam piring berisi air lalu disekakan ke wajah.
"Kaka tidak pakai pupur,? Seruhnya.
"Buat apa,"
"Biar wajah tidak hitam kena matahari," jawabnya
"Ah boleh lah," semenjak saat itu, atau ketika berada di desa, pupur tak pernah saya tinggalkan. Selalu memenuhi muka kala siang menjekang, ke kebun hingga memancing.Â
***
Pupur atau bedak dingin atau bedak giling merupakan sebuah bedak buat wajah yang praktek dan ramuannya sudah ada sejak turun-temurun. Â
Pupur sendiri di dalam kebanyakan suku di Indonesia cukup banyak. Perbedaannya hanya pada bahan-bahan yang digunakan. Lebih di artikan jamu buat wajah.
Di desa saya, pupur dipakai dalam banyak aktivitas. Utamanya berkaitan dengan aktivitas fisik di luar rumah. Ke kebun, di hajatan utamanya bagi ibu-ibu yang bertugas di dapur atau hal-hal yang bersingungan di dapur dalam acara-acara gotong royong, hingga merawat wajah.
Bedak satu ini hampir pasti bisa ditemukan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari ibu-ibu, gadis remaja, lelaki dewasa. Penggunaan pupur dilakukan agar wajah menjadi bersih serta paling utama ialah melindungi wajah dari paparan terik sinar mentari.
Ibu-ibu, adalah konsumen paling tinggi pada produk gilingan sendiri ini. Mereka bisa memakai seharian. Bahkan tak jarang menemukan mereka di hutan dengan pupur tebak yang menmpel.
Bagi remaja, pupur adalah produk pemutih dan pembersih wajah serta obat luka utamanya bokek di wajah. Terutama ketika serangan jerawat menghantam. Bisa dikata, satu produk mengatasi ribuan masalah.
Bahan-bahan yang terkandung didalamnya bisa seragam antara satu dengan yang lain. Walau perbedaannya hanya satu dua bahan. Beras adalah bahan utama dalam proses pembuatan pupur. Khasiat beras memang tak bisa diragukan lagi.
Saya sendiri, membuktikan khasiat makan pokok satu ini. Dulu ketika remaja, dari SMP hingha kuliah, saya tak pernah lepas menggunakan air bekas cucian beras pertama buat muka. Endapan dari rendaman air beras itu, saya pakai setiap hari. Walau bauhnya memang agak sedikit menggangu.
Alhasil, hingga umur segini, saya tak pernah menghadapi masalah rimbunnya jerawat yang menyeranh wajah. Hanya satu dua jerawat yang bersize besar. Kondisi akan berbeda jika saya memakai produk pembersih wajah moderen, sekali pakai timbul di mana-mana. Tentu tergantung karakter wajah.
Selain beras, ada juga kunyit daun bayam berduri, dan beberapa bahan lain. Semua bahan ditumbuk dan giling lalu dicampur. Kemudian dibentuk bulat seperti kelereng yang bisa dipakai buat dua sampai tiga orang.
Proses pembuatan pupur berbeda setiap daerah utamanya di Maluku Utara. Antara desa saya di Kabupaten Halsel berbeda dengan Kota Morotai Maluku.
Bahan pupur banyak memakai dedaunan dan kulit pohon. Seperti beras, kulit pohon mangga, bunga manuru atau melatih dan daun kain mangko; penyebutan penduduk lokal.
Beras di cuci bersih lalu rendam agak lama hingga teksturnya membengkak. Kemudian ditiriskan hingga kering lalu ditumbuk halus. Kulit pohon mangga di kupas kulit luar kemudian di jemur bagian dalam hingga kering.Â
Dedaunan lain prosesnya sama. Semua bahan itu di tumbuk dengan sedikit campuran temulawak agar pupur bisa berwarna. Bedanya juga, di Morotai tida berbentuk bulat. Melainkan dicetak mendatar.
Pupur dalam dominasi produk pembersih wajah
Sesuatu yang bersifat tradisional, bernilai tradisi ditakdirkan memiliki musuh alamiah bernama perkembangan jaman. Semakin kedepan, semakin terlupakan. Semakin ditinggalkan.
Pun dengan pupur sebagai bedak tradisional turun temurun. Dulu saya masih bisa menjumpai aktivitas pembuatan produk pupur lima sampai lebih. Sekarang dalam seminggu atau beberapa minggu belum tentu di jumpai.
Keahlian ini juga memudar dari tangan-tangan warga. Hanya orang tua sepu yang masih menguasai. Selebihnya, pada usia yang masih produktif bisa dihitung jari. Jika ingin harus dipesan, atau di minta ke pembuat.
Dominasi produk pembersih wajah yang bisa diperoleh dengan muda di toko rupanya juga ikut andil. Produk-produk mulai dari buat cuci muka hingga buat pemutih wajah sudah dapat dijumpai hingga ke toko kecil di pedesaan.
Konsumen bebas memilih produk mana yang cocok buat karakter wajahnya. Dengan berbagai tawaran dan merek yang tersedia di rak pertokoan.
Kekuatan iklan dari televisi-televisi yang terpasang di rumah rupanya berhasil menarik minat juga. Berbagai produk bisnis itu kini jadi trend di pedesaan. Bahkan saling memberi rekomendasi produk sudah lumrah terjadi.
Tidak ada yang salah dan patut disalahkan. Memang sudah sepatutnya yang  kalah bersaing dan jadul harus tertinggal. Namun satu yang luput dari perhatian, produk lokal wisdom ini seharusnya bisa lebih berkembang lagi.
 Memang tak bisa mengkonteskan modal kecil dan modal besar. Akan tetapi, produk lokal ini selain menjadi produk wajah tradusional, juga menjadi penghidupan bagi UMKM produk tradisional di Indonesia.Â
Banyak produk UMKM berbasis produk kecantikan lokal saat ini tersebar di Indonesia. Namun pamor dan lemahnya dukungan membikin UMKM hanya jadi penghias data.Â
Tak ada perkembangan apalagi penerapan teknologi, inivasi hingga manajemen yang tertata. Semua berjalan seadannya, menunggu tiba waktunya gulung tikar.
***
Pupur adalah produk lokal yang hampir ditemui di seluruh Indonesia. Penyebutan, bahan dan kegunaannya bisa berbeda-beda. Dari sini, saya memahami bahwa ulitiltas produk satu ini bisa dapat dimanfaatkan sebagai peluang pasar baru.Â
Kampanye dan promosi produk kecantikan lokal bisa membikin produk sejenis dapat dipertahankan dan tidak hilang dengan sendirinya. Seperti beberapa hal tradisional yang bahkan mencapai kata "punah". (Sukur dofu-dodu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H