Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ruang Konflik Bernama Pilkades

14 September 2022   20:41 Diperbarui: 14 September 2022   21:06 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Konflik Bernama Pilkades (radiobanjar.com)

.... fitnah, tuduh-menuduh hingga kekerasan fisik sering menyertai proses berlangsungnya tahapan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).....

Dua malam sebelumnya, seorang Calon Kepala Desa (Cakades) menelpon. Entah dari mana nomor kontak saya diperoleh. Saya mengenalnya, tapi saling menelpon bukan kebiasaan kami berdua.

Basa-basi beberapa saat, ia lantas menyampaikan tujuan " Saya ikut calon, bertarung dengan si A dan si B. Dan sudah sampai tahapan penyerhan berkas ke BPMD Kabupaten. Kiranya mungkin ada jaringan yang bisa mengamankan saya di kabupaten agar lolos hingga tahapan pemilihan," 

Ketakutannya ini lumrah terjadi. Berkas bakal calon (balon) yang sudah di saring dan ditetapkan lolos, akan diserahkan ke dinas terkait. Dinas ini akan melakukan tahapan seleksi lebih lanjut. 

Dalam tahapan inilah, biasanya para Balon akan kuatir. Jaga-jaga kalau mereka akan terjegal. Sehingga segala jejaring akan digunakan untuk mengawal berkas mereka. Ada istilah " orang dalam" punya peran. Jegal menjegal biasanya sudah di mulai dari sini.

"Waduh. Saya saja baru tau kalau sekarang sudah tahapan Pilkades. Namun untuk jejaring, jujur saya tak punya.," ujarku.

Mantan ketua ranting salah satu partai ini pun memaklumi. Dan sekalipun saya punya jejaring, tak elok rasanya mengangu jalannya aktivitas demokrasi. Menganggu sama saja ikut serta mencederai proses terlaksananya demokrasi yang sudah sangat minim pemahaman dan pendidikan politik.

Ia lalu membeberkan visi misinya yang terdengar berapi-api dan saya hanya mendengarkan. Di akhir telepon ia membutuhkan komitmen dari saya agar mau memihaknya. Rupanya sekalian kampanye.

"Anak main sama saya saja. Biar mahasiswa juga nanti bisa memilih saya. Supaya jangan pilih yang lain. Nanti mereka korupsi" ujarnya begitu tersirat. Rupa-rupanya ia hafal betul posisi saya dalam organisasi kemahasiswaan berbasis desa. Entah dari mana juga ia tau saya pembina utama para mahasiswa itu. 

Saya tak mengiyakan. Dan, hanya memberikan harapan agar kelak jika terpilih bisa jadi pemimpin yang pintar mengolah anggaran desa. Anggaran yang jadi cikal bakal fitnah itu karena penyelewengan dan korupsi.

Teleponnya memberikan saya gambaran bahwa proses demokrasi desa serentak di desa khususnya di Maluku Utara saat ini sedang berlangsung. 

Saat pulang setahun lalu, wacana pemilihan kepala desa sudah jadi makanan utama. Saya jadi ingat, satu kandidat yang juga lolos cakades pernah membujuk saya agar memihak juga padanya. Pesannya tegas " mengarahkan mahasiswa dan pemuda" agar memilih dirinya. 

Ketika di desa saya menemukan bahwa fenomena calon kepala desa adalah konsumsi utama masyarakat. Tahapan belum mulai namun desa-desus sudah berjalan kencang. 

Mulai dari penyelewengan anggaran, tidak pintar mengatur desa, tidak sekolah dan kasus ahlak seperti selingkuh tak luput dari singgungan.

"Si A itu dulu pernah menyelewengkan anggaran Gapoktan. Jadi kalau pilih dia, maka kedepan dia akan korupsi. Si B itu ahlahnya tidak bagus mending si C," 

Begitu seterusnya memutar-mutar. Desas desus semacam ini kemudian memantik percikan-percikan konflik. Antara warga hingga keluarga dan keluarga. Saya mulai melihat itu.

Desa yang notabenenya kecil dan tidak memiliki jumlah penduduk yang banyak justru merupakan ruang paling sering terjadinya konflik. Masalah sepele bisa dibawa hingga ke masalah besar. Bahkan, persinggungan yang notabenenya tidak berhubungan sama sekali dengan pilkades pun akan di jadikan landasan saling menjatuhkan.

Kehidupan di desa itu sangat sensitif. Dan konflik adalah kondisi paling depan dalam kehidupan sosial. Sebaik-baiknya seorang calon kepala desa, akan selalu asa celah buat membikin babak belur.

Walaupun notabenenya di desa, masyarakatnya masih punya pertalian darah dan kebesaran marga akan tetapi secara internal tidak ada kata akur. 

Keluarga dan keluarga saling serang. Marga dengan marga saling serang. Bahkan dalam satu  kasus pernah terjadi, kakak tidak meridhoi seluruh keluarga adiknya untuk mengambil air minum di sumurnya. Semua hanya gara-gara tak mendukung kakaknya dalam pemilihan kades.

Di lain kasus, warga tidak boleh melewati jalan yang dibuat pada pemerintahan dirinya pada periode pertama karena kalah pada periode kedua.

Kasus yang paling mendapat sorotan ialah bagiamana pengelolaan anggaran desa. Yap sejak anggaran desa hadir, konflik baru justru tercipta. Dana desa merupakan suatu yang paling menyita perhatian.  Selain dari hasrat dan minat semua kalangan berbondong-bondong menjadi kepala desa, proses penggunaannya justru menciptakan kelas korupsi baru. Korupsi level bawah.

Penggunaan anggaran yang tidak terbuka dan cenderung ditutupi bakal menjadi senjata menyerang perangkat desa hingga proses pencalonan berikutnya. Satu rupiahpun akan diingat oleh masyarakat terutama pada sosok-sosok yang terlibat langsung dalam pemerintahan sebelumnya.

Konflik yang muncul di Pilkades seperti sebuah pergumulan sosial yang tidak ada habisnya. Ibarat sebuah ajang pelampiasan luka-luka lama yang terpendam. 

Pada  sisi lain, sebelum dan sedang dalan proses pemilihan, tak jarang saling bakuhantam terjadi. Beberapa kasus justru sering terjadi dengan kekerasan berdarah. Selain main tangan juga main alat.

Netralitas dan keberpihakan panitia sering menjadi sorotan dalam proses pemilihan. Kadang konflik pecah karena keberpihakan berdasarkan marga serta kecurangan lainnya.  Baik tidaknya panitia akan mencerminkan seberapa cepat pemilihan berakhir. 

Banyak kasus sudah bermunculan. Mulai dari tidak diperolehnya pemenang, pemilihan yang berlarut hingga gagal mendapatkan kepala desa baru. Yang terakhir ini kemudian menjadi ranah pemerintah untuk meutuskan.

*

Pilkades sebentar lagi akan di mulai. Namun konflik di masyarakat, antar kandidat dan partisipan sudah lebih dulu mencuat. Isu demi isu tak etis dan jauh dari nilai pendidikan politik sudah lebih dulu memanas. 

Pendidikan politik dan kedewasaan politik rupanya masih belum berjalan dengan baik di tingkat desa. Pemahaman tentang proses demokrasi begitu rendah. Sementara pihak-pihak yang harusnya netral seperti mahasiswa, panitia atau camat terkadang tidak memposisikan diri di tengah.

Mahasiswa tak ubahnya pion jika kembali ke desa. Segala ilmu tak akan berlaku sebab dominasi orang tua begitu tinggi. Di lain pihak, konflik yang terjadi di dasarkan pada asas kekeluargaan. Di mana pertikaian sepele menjadi semakin besar karena tidak ada keihlasan masing-masing dan proses penyelesaian yang tidak mengikat. 

Ruang sosial yang kecil dengan interkasi keluar yang rendah menyebabkan tranformasi pengetahuan dan cara berpikir masyarakat desa menjadi kaku. 

Tentunya ini menjadi catatan tersendiru untuk diseriusi. Sebab, dibanyak lingkungan desa, demokrasi tak sehat karena permasalahan sepele dan perkara seperti pengelolaan keuangan desa justru menjadi biang konflik yang tak berkesudahan. Korbannya tentu saja masyarakat sendiri. Tidak ada yang diuntungkan, sekalipun proses identifikasi masalah sudah diperoleh pemangku kepentingan. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun