Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Desa dan Santet

11 September 2022   15:08 Diperbarui: 11 September 2022   15:14 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Desa dan Santet (Kompas.com)

Jaman memang berubah, tapi selama manusianya tidak berubah, maka segala sesuatu tetap stagnan,"

Kurang lebih itulah yang tertangkap dalam obrolan via mesengger dengan salah satu warga desa. Tegas ia bilang bahwa praktek persantetan masih merajalela. Orang-orang pun tak luput dari sebutannya. Ironi memang, tetapi itulah kondisi sosial masyarakat desa. 

Kepercayaan turun temurun akan praktik aniyaya lewat lewat ilmu sakti begitu kuat.  Orang-orang kuat ini mendapat label sosial kuat di masyarakat. Label itu melekat bahkan anak kecil pun akan mawas diri dalam nasihat orang tua. Jaga-jaga agar hati-hati bergumul dengan mereka. 

Tuduhan tanpa dasar ilmiah ini memang patut dipertanyakan. Namun pengadilan sosial seperti menjadi hakim lebih kuat dalam masyarakat. Apalagi pengalaman sosial adalah bukti valid atas kuatnya pengadilan ini.

Tak bisa dipungkiri juga, walau masih menjadi perdebatan benar tidaknya, dunia satu ini menempati urutan teratas dalam kepercayaan dan kehidupan masyarakat. Utamanya di desa, di pelosok-pelosok. 

*

"Aktifitas sekarang lagi merombak dapur, mau di perbaiki," ungkap pria muda yang berprofesi sebagai guru honorer dan juga ketua pemuda desa.

" Siapa yang jadi tukangnya,( mandor)," tanyaku lagi

"Tukang batu saya sama papa," jelasnya dengan bangga. Anak dan bapak ini rupanya nyambi jadi tukang. Tak ada mandor kepala yang dipakai. 

Di desa, rata-rata anak muda memang pandai dan punya skil membangun rumah. Keahlian mereka seperti menyusun tela, plesteran, membuat plafon hingga memaku seng, atau atap. 

Tetapi kepercayaan masyarakat, urusan penutup rumah harus dipegang oleh tukang yang punya ilmu sakti. Ada kepercyaan mistis yang lagi-lagi melekat. Pun dengan mendirikan rumah dari nol, mandor kepala harus orang kuat, punya ilmu pertukangan sekaligus ilmu diri dari serangan ilmu santet.

"Wah berarti bisa di panggil Om Bas dong," ejekku. Om bas sediri adalah panggilan tenar untuk mandor kepala proyek suatu pembangunan.

" Om Bas apaan, di serang (santet) orang langsung muntah darah," belanya. Aku cekikan. Rupanya sebutan Om Bas baginya bukan perkara gampang. Ia menimpal, anak muda polos seperti dirinya, sekali serang langsung kebablasan, mati atau sakit-sakitan.

"Ah itu halusinasi kamu aja," ledekku memancing gairahnya agar mau mengungkapkan lebih dalam. Ia termakan umpan " ah tidak halusinasi, saya sudah buktikan sendiri,"

"Bukti apa, jangan asal nuduh," tekanki.

Iapun menceritakan beberapa kejadian. Pertama bentuk santet pada makanan ketika ada suatu hajatan desa. Nasi kuning sebagai menu dalam pengajian berisi benda mencurigakan. Ia tak tau kepada siapa sasaran santet tersebut. Namun warga yang hadir di situ menyadari lalu mengganti nasi kuning tersebut.

" Semua warga menyaksikan fenomena itu. Bukan hanya saya,". Tegasnya

Ia pun mengetahui siapa dalang insiden tersebut. Tidak tau apakah ia melihat sendiri atau mendengar dari mulut orang-orang. Memang begini kehidupan desa, mulut ke mulut adalah informasi akurat.

Selain kejadian itu, iapun menyambung beberapa kejadian lain yang cukup mencenangkan. Tak akan saya bahas perihal ini. 

"Ah jangan asal nuduh, emang bisa dibuktikan dengan ilmiah," tegasku.

"Memang tak bisa. Tetapi semua orang tau beliau lah aktornya. Dan sudah banyak kejadiaj melatarbelakanngi," jawabnya. Aku hanya menerka-nerka setiap ceritanya. 

Gambaran ini hanya sekian dari fenomena betapa momok persantetan, orang-orang sakti yang menyalahgunakan ilmunya pada hal-hal hitam; kejahatan.  Rata-rata sudah ku temui cerita serupa. Kemana pun kaki melangkah. Bahkan pengakuan-pengakuan korban santet itu sendiri.

Melakatnya praktik "orang sakti" penganiyaya memang begitu melakat. Di timur apalagi. Sudah menjadi konsumsi utama barang satu ini bahkan dalam hegemoni kota metropolitan.

Di desa, orang-orang punya landasan identifikasi yang lahir atas cerita. Baik kesaksian atau dari korban. Tuduhan bisu kemudian lahir dari proses identifikasi tereebut. Sehingga semua orang akan tau siapa saja "orang kuat" yang punya ilmu hitam tersebut.

Identifikasi tersebut dapat menjadi landasan untuk hati-hati bergaul dengan mereka. Walau tidak nampak terkucilkan dalam praktek kehidupan sosial namun dalam pemikiran orang-orang ini terkucilkan.

Belakangan fenomena lain saya temukan, yakni anak muda yang ikut-ikutan mempelajari ilmu hitam tersebut. Yap, ini cukup kuat. Bahkan ada label pemain baru dan pemain legend. 

Pemain legend adalah biasanya melekat pada orang tua-tua. Pemain baru adalah anak muda yang katanya lebih jahat dari pemain legend. Ini didasarkan pada  sandaran bahwa anak muda masih labil dalam mengontrol diri dan emosi. Sehingga patut dihindari atau hati-hati. Jangam sekali-kali membikin mereka sakit hati.

Kepercayaan masyarakat desa dalam praktik kelilmuan mereka dilakukan dengan berbagai sarana. Satu yang paling tenar adalah "racun". Di mana ini menjadi momok paling utama. Orang tua selalu mewanti-wanti anaknya agar jangan makan sembarangan, utamnya dalam hajatan. Atau jangan bergaul dengan mereka bahkan anak keturunannya. Sebuah sangksi sosial yang ngeri.

Sarana racun ialah rokok, makanan dan minuman. Menurut banyak cerita, racun yang entah apa bahannya bermacam-macam itu biasanya di simpan di kuku. Seperti cerita dongeng tentunya, namun ini kuat melekat.

Kekuatan lainnya ialah menjadi "setan atau suanggi" yang berkeliaran di malam hari menggangu orang apalagi pada anak bayi,  menjadi hewan "babi" yang menganiyaya orang di dalam hutan--ini juga kuat, dan sering disaksikan dengan mata kepala sendiri-- dikirimi paku dalam diri, dan lain-lain.

Lantas bagaimana perlindungan masyarakat atas orang-orang seperti ini? Tentu saja ada. Masyarakat juga punya ilmu bela diri. Bukan berkelahi, tapi doa-doa yang pelindung.

Saya memaknainya dengan ilmu putih dan ilmu hitam. Bukan pesulap merah dan Gus Samsudin tentunya.  Ilmu putih banyak juga di pelajari, diturunkan dan ajarkan kepada anak-anak, bahkan pada orang tua.

Ini digunakan untuk menangkal serangan dari ilmu hitam. Sehingga ada label " tak tersentuh" karena ilmu penangkalnya kuat. Bahkan mereka yang tak tersentuu bisa menyerang balik para tukang santet. Ngeri kan. Seperti perang Rusia Ukraina.

Nasihat agar punya ilmu pelindung umum terjadi di Timur. Baik orang di kota hingga orang di desa. Entah kenapa kepercayaan ini sangat kuat. Pelindung diri berupa doa-doa yang entah dibaca saja pusing ini banyak diamalkan. Mulai dari digunakan saat mandi, hingga dipraktekan saat di lingkungan sosial.

Anak muda banyak berburu ini. Berguru sana sini. Menemui orang-orang yang katanya punya kesaktian. Begitupun orang tua yang saling belajar menurunkan ilmu-ilmu penangkal. 

Bagi anak muda, kegunaanya saat bergaul nanti utamanya dengan anak muda dari desa. Bahkan di lingkungan ilmiah seperti kampus pun tak pernah luput dari sasaran ini.  Pun jika mereka ke desa. Ilmu ini alan dipakai hingga pulang nanti.

Banyak cerita di mana anak muda atau siapapun kategori umurnya ketika pulang dari desa dan sakir dihubungkan dengan "penganiyayan" atau santet. Bahkan ketika mereka meninggal label ini makin dan makin kuat. Desa dan orang-orangnya jadi sasaran. Jika sudah sakit, maka mereka harus berobat juga pada orang sakti. Tukang obat istilahnya. 

Saya beberapa kali ke desa serinf mendapat teguran " kamu polos sekali,". Yang berarti tak punya pegangan apa-apa. Tak punya ilmu pelindung diri dari santet dan semacammya. Gampang di serang.

Ya walaupun saya sendiri tak pernah sepaham dan setuju. Walau saya yakin ilmu semacam ini memang ada. Tapi tetap ragu-ragu dan lebih kepada tidak yakin.

*

Kepercayaan masyarakat pada ilmu persantetan dan semacamnya memang menjadi perdebatan di Indonesia. Ada yang percaya ada pula yang tidak. Syirik adalah bahasa agama yang disandarkan.

Tetapi, di penjuru negeri ini, dibanyak kehidupan sosial baik di kota metropolitan hingga desa, kepercayaan ini masih melekat dalam diri setiap orang. 

Kepercayaan turun temurun ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Tak akan pernah hilang. Bahkan menjadi sebuah kepercayaan yang dalam perakteknya sudah jauh sebelum perdaban-perdaban mulai tumbuh. 

Bagi saya sendiri, praktek seperri ini akan memakan korban. Utamanya pada sosok yang "tertuduh" punya ilmu aniyaya. Tuduhan yang mendiskreditkan kehidupan mereka dan anak cucu  turunannya. Bisa jadi tuduhan itu tidak benar. 

Sudah banyak kasus di Indonesia yang pada akhirnya membuka mata bahwa penuduhan tak berdasar menyebabkan pihak tertuduh merenggang nyawa atas pengadilan jalanan. Sungguh ironis memang, namun beginilah kondisinya. 

Kepercayaan yang kuat menyebabkan kemunduruan dalam berpikir. Bahkan keadilan yang diagungkan sejak dalam pikiran kata Pramodedya Ananta Toer, sejatinya belum berlaku. (Sukur dofu-dofu)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun