Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

BBM Naik, Nelayan Terjepit

8 September 2022   07:00 Diperbarui: 8 September 2022   07:55 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil tangkap nelayan di Kabupaten Halmahera Selatan (Dokumentasi pribadi)

Terik mentari begitu menyengat. Namun nelayan, pedagang, petugas dan orang-orang yang ada di Pelabuhan Perikanan Panamboang, Kabupaten Halmahera Selatan nampak begitu biasa. Ini bukan perkara besar yang dikeluhkan. Dan, sudah sekian episode saya menyaksikan aktivitas mereka.

Dalam tiga bulan pencarian data, karena kepentingan ilmiah, sudah banyak nelayan yang saya wawancarai dan sudah banyak kapal yang saya naiki. Pun dengan pedagang, pengumpul, pemilik warung makan, petugas hingga pejabat berwenang.

Penelitian tentang nelayan tidak sekedar hasrat memenuhi kepentingan pribadi. Tidak sekedar berapa penghasilan yang katanya menggiurkan dan berapa ton yang dihasilkan. 

Di balik itu, tersimpan banyak persoalan-persoalan menarik yang luput dari pantauan. Jika tidak digali, tidak akan ditemukan titik pangkalnya. Tidak akan muncul. Salah satunya, BBM.

Yap, BBM. Naiknya harga BBM dua hari belakangan memunculkan kembali persoalan ini dalam ingatan. Tentang nelayan tangkap yang kesusahan menemukan salah satu faktor penting operasional ini.

BBM jenis solar sangat langkah, dikuasai beberapa orang saja. Dimainkan tak kentara, sementara BBM subsidi waktu itu tak menyentuh kapal dengan kapasitas di atas 16 GT. 

Tak ada BBM berarti tak melaut, dan itu sering terjadi. Kalaupun melaut, belum tentu bisa mendapatkan BBM. Kalau dapat, belum tentu murah dan banyak sesuai keinginan. Harus ada biaya lebih yang keluar.

***

Pelabuhan pendaratan ikan nampak mulai renggang, hanya tersisa tiga kapal yang masih berlabuh. Beberapa kapal sudah melepas tali bandar dan melaut sejak pukul tiga sore tadi. 

Melihat itu, saya putuskan mengunjungi kapal tersebut setelah melihat ada beberapa abk sedang duduk di anjungan. 

Pria berbadan kekar, tanpa kaus, menyambutku. Ia kapten di kapal tersebut. Ia lantas mempersilahkan saya duduk di sampingnya dan sudah tahu maksud saya menemuinya. Sebab, dalam tiga bulan lamanya saya selalu wara-wiri di pelabuhan ini.

 Beberapa ABK kemudian menjauh dan membiarkan saya dengan kapten mengobrol.

"Tidak melaut Kap?" Tanyaku padanya setelah basa basi terlebih dahulu.

"Sudah tiga hari tidak melaut, tidak dapat minyak," jawabnya. 

"Memangnya di sini tidak ada penjual minyak ya kap?" Tanyaku penasaran.

"Susah minyak di sini. Sudah lama kami suarakan. Ada beberapa penjual minyak eceran, tapi harus kerja sama dulu dengan mereka," jawabnya.

Aku menangkap maksud kerja sama yang dikatakannya. Hampir semua responden nelayan menjawab demikian. Untuk mendapatkan minyak, mereka harus bekerja sama dengan pedagang perantara dalam hal penjualan. 

Nelayan dan pedagang perantara memiliki ikatan patron klien. Pedagang pengecer yang bekerja sama dengan nelayan, selain bertugas sebagai agen penjualan hasil tangkap nelayan dengan porsi keuntungan Rp 1.500-2.000/kg juga wajib menyediakan minyak solar bagi nelayan untuk kembali melaut. 

Minyak ini akan dibayar setelah penjualan selesai. Atau di potong langsung oleh pedagang perantara. Sederhananya, semua biaya operasional dipotong dari hasil penjualan tangkap nelayan.

Ikatan ini menyebabkan nelayan berada pada posisi ketergantungan sehingga sangat sulit melepaskan diri dari kerja sama. 

Pedagang perantara mendapatkan minyak dari pedagang pengecer yang rata-rata masih kenalan. Mereka juga mendapatkan stok minyak dari agen-agen di kota.

"Kenapa tidak beli di luar lokasi pelabuhan?" Tanyaku.

" Sama saja, di luar pun susah. Harus cari ke sana kemari. Itu pun harus sedikit demi sedikit. Harganya juga mahal. Habis biaya."

"Butuh berapa liter untuk sekali melaut?" Tanyaku.

"Standarnya 200 liter atau empat jerigen. Itupun kurang kalau mau menangkap ke lokasi potensial yang lebih jauh," tuturnya.

"Jadi sudah berapa hari tidak melaut?" Tanyaku lagi

" Sudah tiga hari," jawabnya.

Tiga hari rasanya cukup rugi bagi mereka. Kendala BBM mengharuskan mereka melabuhkan kapal walau musim tangkap dan harga sedang bagus-bagusnya. 

Ia hanyalah satu nelayan dari hampir semua nelayan yang mengeluhkan sulitnya mendapat BBM. Nelayan lain juga harus susah payah memikirkan bagaimana memperoleh BBM jenis solar. 

Di pelabuhan perikanan sendiri memang ada satu SPBU yang tiap minggu selalu ada pasokan. 

SPBU yang dikelola langsung oleh petugas pelabuhan. Tetapi tidak untuk kapal dengan kapasitas di atas 16 GT. Sementara mayoritas kapal nelayan ialah pole and line di atas 20 GT.

Hasil tangkap nelayan di Kabupaten Halmahera Selatan (Dokumentasi pribadi)
Hasil tangkap nelayan di Kabupaten Halmahera Selatan (Dokumentasi pribadi)

Walau demikian, kapasitas BBM subsidi juga tak mencukupi bagi kapal di bawah standar itu. 

Penelusuran saya, SPBU ini hanya mendapat jatah tidak kurang dari 500-1.000 liter. 

Jumlah yang hanya cukup untuk dua kali melaut bagi kapal pole and line yang tersedia. Walaupun bersubsidi, harga yang dikeluarkan untuk satu liter solar tetap lebih tinggi dari yang ditetapkan.

Hal ini lantaran solar-solar itu dikuasai oleh beberapa orang yang dengan mudah memainkan harga. Sementara di SPBU umum juga demikian, dikuasai satu dua orang.

Nelayan yang tidak bekerja sama dengan pedagang perantara sudah tentu akan sedikit kesulitan. Walau bisa membeli ke SPBU umum, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi cukup lumayan. Menyentuh angka seratus ribu pulang pergi.

Pun jika sanggup. Belum tentu mereka bisa mendapatkan minyak karena keburu habis. 

Minyak solar sebagai salah satu item operasional penting nelayan merupakan salah satu faktor penghambat nelayan tidak melakukan penangkapan. 

Kapasitas BBM yang tidak banyak, dan hampir rata-rata di Maluku Utara atau wilayah timur menyebabkan terjadinya kelangkaan. Jika sudah begini, tekanan harga juga ikut naik. 

Saat ini, ketika harta BBM naik, maka tekanan paling berat akan dirasakan. 

Pertama, perihal jaminan dan ketersediaan stok. Di mana nelayan sangat kesulitan memperoleh BBM untuk melaut. Dan kedua, ialah jaminan harga. 

Harga yang naik sekarang berpotensi menurunkan tingkat pendapatan nelayan. Lantaran biaya produksi menjadi meningkat, sementara harga ikan cenderung rendah sebagai tangan pertama. 

Satu harga menjadi sangat penting diterapkan agar tidak ada spekulasi dari agen. Dengan satu harga, nelayan bisa memastikan adanya biaya tetap yang harus dikeluarkan dalam sekali melaut.

Tentu, ini harus dipikirkan. Baik pemerintah pusat maupun daerah. Sejauh mana skema pembiayaan agar nelayan dapat beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Skema-skema yang dibuat harus berdasarkan pada asas keadilan, dan keterbukaan.

Salah satu yang menjadi concern adalah bagaimana penekanan dan penindakan oknum nakal yang melakukan penimbunan dan menaikkan harga seenaknya ketika melakukan penjualan kepada nelayan. 

Berikutnya adalah jaminan berapa besar minyak subsidi yang bisa di terima nelayan. Lantaran beberapa kali saya menemukan terjadinya pengurangan volume yang seharusnya diterima.

***

Perikanan merupakan salah satu sektor potensial dan menjadi sektor unggulan di Maluku Utara khususnya di sentra perikanan, Kabupaten Halmahera Selatan. Sektor ini, paling banyak diusahakan oleh nelayan kecil dan sedang dan merupakan mata pencarian utama.

Naiknya harga BBM tentu membawa dampak pada kondisi produksi perikanan tangkap nelayan. Penurunan pendapatan bakal dirasakan nelayan. 

Pada akhirnya akan menurunkan angka kesejahteraan nelayan dan bisa sampai pada kondisi berhenti melaut. Sehingga, strategi-strategi yang mampu mendukung keberlangsungan usaha ini harus secepatnya dirumuskan dan diterapkan agar gairah perikanan tangkap tetap berjalan. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun