Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Partai Politik, Dulu dan Sekarang

3 Agustus 2022   15:48 Diperbarui: 4 Agustus 2022   07:25 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).| KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Di desa, Tahun 1990-an silam. Warga berbondong-bondong ke TPS. Saya lupa tepatnya kapan. Saya pun masih anak kecil yang ke mana-mana selalu nempel dengan kakek. Tapi ingatan masih terekam jelas atas suasana waktu itu.

Saya diajak kakek saya ke TPS. Di sana sudah ada banyak warga desa yang menunggu giliran panggilan melakukan pencoblosan.

Anak kecil seperti saya tidak memahami apa itu pencoblosan atau pemilihan. Layaknya anak kecil kepo sudah naluri alamiah. Saya menyaksikan keramaian itu tanpa sedikit pun jauh dari kakek.

"Kalian itu harus pilih partai ini. Supaya suara Anda bisa sampai ke pusat. Kita bisa didengar," 

Suara gelegar kakek saya begitu melekat dalam ingatan. Ia marah kepada penduduk desa lantaran dalam pemilihan partai, suara partai penguasa saat itu jauh dari menggunguli dua partai lainnya.

Seingatku hanya ada tiga partai, Yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI)

Tentu saja, partai penguasa saat itu sangat superior. Satu-satunya partai yang diperhitungkan melawan superioritas waktu itu ialah PPP. Dan, kakek saya merupakan satu dari beberapa penduduk desa yang tidak mengikuti kehendak mainstream tersebut. Ia anti mainstream. 

Terang-terangan melakukan kampanye individu tanpa biaya sedikit pun. Intimidasi dan pembulian sudah biasa baginya. Ideologinya sudah kadung kuat. Ia ingin perubahan agar desa terpencil seperti kami tempo dulu bisa ada sedikit perubahan.

Hasil perolehan suara di DPR diharapkan dapat membendung laju kekuasaan yang begitu kuat. Walau pada akhirnya partai penguasalah sebagai pemenang kursi terbanyak di DPR DPR, DPRD Tingkat 1 Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya.

Kebengisan ideologinya dalam memilih berseberangan lantaran ia punya sosok politik yang dikagumi. Baginya, selama puluhan tahun sejak ia hidup dari zaman pesawat terbang Jepang masih mengudara di atas kepalanya, sosok tersebut adalah perwujudan kemakmuran setelah Soekarno.

Ideologi partai pun baginya sangat relevan setelah sekian lama terkekang oleh penguasa saat itu. Sosoknya kemudian menjadi wakil presiden setelah Reformasi berjalan.

Gambaran tentang mekanisme pemilihan tempo itu masih sangat jelas. Saat itu, jumlah parpol hanya tiga yang turut sejak pemilu 1977-1997 selalu menjadi peserta tetap. Sebelum akhirnya bertambah pada pemilu 1999-2004.

Rumahpemilu.com
Rumahpemilu.com

Representasi ketiga partai tersebut diwujudkan sebagai representasi semua kelompok di Indonesia, kaum bawah, religius, dan kelompok atas.

Zaman yang dihadapi kakek saya sudah jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Euforia politik dalam balutan demokrasi menghadirkan gelombang baru transformasi keikutsertaan partai dalam Pemilu. Berjibun berdiri partai baru dengan berbagai macam ideologi perjuangan kesejateraan.

Narasi "Nestapa politik" di Orde Baru merupakan senjata dalam merombak paradigma politik masyarakat. Di mana kebebasan memilih menjadi utama. Atau meminjam bahasa Abraham Lincoln "dari rakyat untuk rakyat" yang tersohor itu.

Saya sendiri masih ingat jelas. Ketika masih di bangku SMP dalam pemilu tahun 2004, jumlah parpol sebanyak 24 partai ikut berpartisipasi. Euforia kampanye begitu terasa terutama di kota kecil seperti kami di timur. Seperti pesta yang tak asa habisnya. Merayakan demokrasi yang baru.

Di waktu itu, saya yang masih sumur jagung juga ikut leha-leha di atas truk. Kampanye sebuah partai baru yang banyak mendapat dukungan.

Di periode ini, partai baru yang bermunculan adalah harapan. Sementara partai lama semisal tiga partai di atas seperti kehilangan marwa politik. Tak banyak dukungan yang diperoleh lantaran luka masih belum menganga dan belum mengering.

Partai-partai tersebur seakan dilupakan. Kepercayaan pada partai lama runtuh seiring hadirnya partai-partai baru sebagai gerakan pembaharuan. Walaupun pada tataran legislatif masih dikuasai partai lama namun sudah ada perlawanan dari partai baru.

Seiring berjalannya waktu. Dari pemilu ke pemilu partai-partai baru ada yang harus kehilangan tempat dan ada yang tumbug pesat dan menguasai struktur kekuasaan. 

Partai baru minim finansial dan sosok tokoh selalu hilang dengan sendirinya. Sementara ketokohan yang kuat membawa partai berjalan dengan baik. 

Begitupun dengan pendidikan politik di era reformasi yang mulai cukup membaik. Masyarakat sudah mulai ditempa oleh keterbukaan informasi sebagai landasan perpolitikan mereka.

Pada pemilu 2024 salah satu urgensi yang menjadi perhatian adalah keterlibatan banyak partai dalam proses pemilu. Berkaca dari pemilihan sebelumnya yang bagi saya amburadul karena memakan korban jiwa, pandangan perampingan keterlibatan partai kemudian menjadi wacana serius. 

Bisa saja banyak partai karena itu hak demokrasi tetapi perbaikan sistem perlu dilakukan secara dini. Mekanisme pemilihan serempak tentu saja menguras banyak sumber daya. Baik penyelenggara hingga dukungan finansial.

Terlalu sedikit partai tidak ideal karena sama saja mengabaikan fakta demokrasi dan tak lari dari jiwa Orde Baru. Sementara terlalu banyak partai juga tidak efisien dalam proses penyelenggaraan yang belum didukung oleh sistem memadai. Akan ada lost anggaran yang begitu banyak hanya untuk menyelenggarakan pemilu.

Lantas bagaimana solusinya?

Bagi saya penguatan sistem dari hulu ke hilir sangat penting. Penyelenggara pemilu harus ketat sejak awal. Atau sejak awal verifikasi partai yang saat ini gencar dilakukan.

Penyelenggara harus ketat melakukan tahapan verifikasi partai mulai dari DPP, DPD, DPW, DPC hingga ranting partai. Verifikasi administrasi yang dimulai saat ini harus dipastikan bahwa dokumen-dokumen yang terupload sungguh benar adanya. 

Data-data kepengurusan yang dimasukan adalah benar-benar pengurus aktif dan tidak hanya sebagai formalitas kelengkapan berkas. Ini lantaran banyak partai yang hanya sekedar memasukan nama dengan meminta KTP atau kesediaan seseorang masuk partai atau tidak.

Setelah verifikasi selesai, pemilu berjalan, orang-orang ini justru tidak terlibat sama sekali. Saya punya banyak pengalaman soal hal-hal ini. Ditawarkan masuk partai semudah menawarkan ikan di pasar.

Proses verifikasi yang ketat dapat memangkas jumlah parpol yang tidak lengkap secara administrasi adalah upaya perampingan keterlibatan partai politik dalam pemilu. Tidak pandang bulu mau partai besar atau kecil semua harus disamaratakan.

Pun dengan sistem keikutsertaan dalam pemilihan legislatif. Saya sendiri memandang, proses pemilihan anggota legislatif sangat melelahkan. Menghabiskan waktu hanya sekadar membuka surat suara yang begitu besar.

Aturan keikutsertaan dalan partai juga harus diawasi ketat. Memang, semua orang punya hak ikut serta tetapi pencalonan sekadar pencalonan hanya membuang waktu.

Harus ada seleksi prioritas oleh internal partai sehingga dalam satu partai tidak sampau 10 orang calon di dapil yang sama.

Penguatan sistem sangat penting. Tidak mungkin menghilangkan atau merampingkan keikutsertaan partai begitu saja. Sehingga perlu ada terobosan sistem pemilihan. Utamanya dalam hal pencoblosan hingga tahapan perhitungan dan penetapan. 

Memanfaatkan kemajuan teknologi adalah upaya yang dipandang penting. Perlu ada platrom baru ketimbang menghabiskan biaya melakukan seleksi penyelenggara di setiap tingkat. Sebuah proses seleksi yang sering kali terkandung unsur "kepentingan".

Hal ini sebagai wujud efisiensi. Sebab pemilu selain ruwet juga menelan biaya yang tidak sedikit. Mari berbenah (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun