Orang selalu royal membantu tanpa ada sedikit pun tendensi mengembalikan uang tersebut. Inilah salah satu yang membuat banyak dari kami tak segan-segan meminta bantu.
Sementara, makan sehari-hari adalah urusan belakang. Kehabisan uang dan stok makanan bisa diakali dengan mengunjungi teman-teman. Atau, yang paling sering ialah patungan.Â
Kondisi pusing di akhir semester hanya akan terjadi satu tahun awal. Tahun berikutnya, kondisi itu bisa diatasi sendiri. Kebanyakan dari kami banyak membangun relasi-relasi dengan tokoh-tokoh politik, agama, pebisnis. Relasi-relasi ini kemudian terus dijaga guna keberlangsungan hidup.
Proyek-proyek sekecil apapun akan diembat. Dilakukan yang hasilnya selalu di pakai "berjamaah" atau bersama-sama.Â
Bagi kami orang timur di perantauan, satu karung beras untuk sebulan sendiri terlalu egois. Sehingga ketika ada kelebihan, semua orang harus bisa merasakan bersama.
"Rejeki milik bersama" saya sering menyebutnya. Budaya traktir begitu lekat. Di Maluku Utara traktir mentraktir adalah sebuah budaya. Mau makan 5-10 orang pun tak masalah bagi si pentraktir.Â
Tak ada makan bayar sendiri-sendiri, haram hukumnya. Sebuah budaya yang terbawa hingga ke perantauan. Orang timur suka membuat acara atau sesuatu yang berhubungan dengan keramaian.
****
Empat tahun saya menimba ilmu sebelum lulus. Saya putuskan tidak pulang ke daerah asal. Beberapa kawan pun demikian. Memilih tetap melanjutkan kemelaratan di Jakarta. Relasi-relasi yang sebelumnya terbangun semasa kuliah kembali mengikat. Bekerja serabutan apapun yang di perintahkan.
Kondisi yang tak pasti. Namun bagi circle saya di daerah, saya masuk kategori sukses lantaran bisa bertahan. Tidak tau saja mereka, rokok pun tak jadi di beli.
Selama merantau, saya menemukan banyak makna. Relasi tentu saja paling pertama. Berikutnya ialah makna perjuangan dari kehidupan. Bahwa hidup tak semenarik cerita orang-orang berdasi atau berduit tujuh turunan. Â Sebab ada pertaruhan dari setiap keputusan yang diambil.