Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Melarat ala Orang Timur

6 Juli 2022   22:30 Diperbarui: 7 Juli 2022   19:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bang, kuliah di sini beasiswa ya?" Ujar seorang kawan dalam sebuah obrolan 4 tahun silam. Saya baru mahasiswa semester satu di salah satu kampus di Kota Bogor.

"Iya, Beasiswa Patungan," jawabku diiringi cekikan. 

Ia penasaran dan bertanya," Maksudnya beasiswa patungan bang?" 

"Beasiswa patungan itu gini, semua keluarga dan kolega ngumpulin sedikit-sedikit utamanya buat semester yang mahal itu," jawabku.

"Supporting keluarga dong. Bang sudah kerja?" Sanggahnya.

"Tidak juga. Tidak selalu keluarga, bisa saja kenalan atau siapa yang bersedia membantu. Dan, saya belum kerja, pengangguran elit," jawabku lagi-lagi membuatnya geleng-geleng kepala.

Aku lihat raut wajahnya sedikit keheranan. Maklum, rata-rata yang melanjutkan studi ke strata berikutnya punya latar belakang pendanaan yang jelas.

Dari hitunganku 80 persen beasiswa. Tapi, tidak akan saya bahas perihal itu. Saya lebih tertarik membahas mengenai kenapa "kebanyakan" orang timur khususnya mahasiswa "nekat" merantau dan melanjutkan pendidikan tanpa supporting system yang memadai; biaya.

Melanjutkan pendidikan merupakan sebuah fenomena yang belakangan menyita perhatian. Apalagi melanjutkan pendidikan ke luar pulau utamanya ke Pulau Jawa. 

Setiap lulusan perguruan tinggi yang berani mengambil keputusan melanjutkan pendidikan strata selanjutnya adalah transformasi tertinggi di kalangan sosial. Ia akan dipuja, dibahas agar kawan-kawan lain mengikuti jejaknya.

Kekuatan dan dorongan akan memperkuat seseorang mengambil langkah untuk bergegas ke pulau Jawa. Dan cepat-cepat mendaftar tanpa memperhitungkan di terima atau tidak. Ada duit tidak ada duit urusan belakang, terpenting berangkat dulu. Gaya dulu, sisanya diurus belakangan.

Kurangnya informasi beasiswa dan harapan tidak lulus karena aneka persyaratan menjadikan beasiswa bukan sesuatu yang populer di timur. Setahun belakangan mungkin iya, tapi beberapa tahun sebelumnya, hampir tidak ada yang melamar. 

Ini banyak ku temukan hampir di semua mahasiswa timur khususnya dari Maluku Utara. Dan saya termaksud mahasiswa kebanyakan itu. Nekat karena dorongan seorang dosen kala saya menjadi enumerator dalam penelitian yang dilakukannya. 

Dorongannya membawa saya menuju Jakarta kemudian ke Bogor di awal Maret. Padahal perkuliahan baru di mulai bulan Agustus. Sebuah kegoblokan yang hakiki. Sisa bulan dihabiskan dengan menginap di Sekret mahasiswa satu ke satu. 

 Di sinilah saya menikmati pengalaman merantau dengan melarat menjadi seni kehidupan. Memotret kehidupan mahasiswa timur yang nekat merantau demi mengenyam pendidikan. 

"Bagi mahasiswa lain, akhir bulan adalah kondisi melarat. Tapi bagi kami, setiap hari melarat," 

Landasan ekonomi orang tua yang mayoritas ekonomi sedang dan kebawa menandakan kiriman uang berfluktuasi. Kadang dikirim kadang tidak sama sekali. Kondisi ini terjadi hampir di semua mahasiswa yang berkuliah d Jakarta dan Bogor. Mereka harus memutar otak sekencang-kencangnya. 

Kondisi yang paling ruwet ialah pusing di akhir semester. Ketika invoice SPP keluar. Satu persatu mahasiswa mulai menghubungi kolega-koleganya untuk mengamankan kondisi. Jika tidak, cuti menanti di depan mata. 

Cuti berakibat pada dua kondisi yaitu pertama, tertinggal semester dan kedua, tidak lagi melanjutkan pendidikan. Banyak senior-senior saya yang akhirnya pulang karena terkendala eksekusi SPP.

Maka, untuk mengatasi itu, sedikit demi sedikit dikumpulkan hingga mencapai total yang harus dibayarkan. Jika belum mencapai target maka solusi terakhir ialah utang yang entah kapan akan di kembalikan.

Menariknya, persoalan saling membantu seperti menjadi budaya. Seterjepit apapun si pemberi, akan selalu diberikan jika menyangkut dengan pendidikan. 

Orang selalu royal membantu tanpa ada sedikit pun tendensi mengembalikan uang tersebut. Inilah salah satu yang membuat banyak dari kami tak segan-segan meminta bantu.

Sementara, makan sehari-hari adalah urusan belakang. Kehabisan uang dan stok makanan bisa diakali dengan mengunjungi teman-teman. Atau, yang paling sering ialah patungan. 

Kondisi pusing di akhir semester hanya akan terjadi satu tahun awal. Tahun berikutnya, kondisi itu bisa diatasi sendiri. Kebanyakan dari kami banyak membangun relasi-relasi dengan tokoh-tokoh politik, agama, pebisnis. Relasi-relasi ini kemudian terus dijaga guna keberlangsungan hidup.

Proyek-proyek sekecil apapun akan diembat. Dilakukan yang hasilnya selalu di pakai "berjamaah" atau bersama-sama. 

Bagi kami orang timur di perantauan, satu karung beras untuk sebulan sendiri terlalu egois. Sehingga ketika ada kelebihan, semua orang harus bisa merasakan bersama.

"Rejeki milik bersama" saya sering menyebutnya. Budaya traktir begitu lekat. Di Maluku Utara traktir mentraktir adalah sebuah budaya. Mau makan 5-10 orang pun tak masalah bagi si pentraktir. 

Tak ada makan bayar sendiri-sendiri, haram hukumnya. Sebuah budaya yang terbawa hingga ke perantauan. Orang timur suka membuat acara atau sesuatu yang berhubungan dengan keramaian.

****

Empat tahun saya menimba ilmu sebelum lulus. Saya putuskan tidak pulang ke daerah asal. Beberapa kawan pun demikian. Memilih tetap melanjutkan kemelaratan di Jakarta. Relasi-relasi yang sebelumnya terbangun semasa kuliah kembali mengikat. Bekerja serabutan apapun yang di perintahkan.

Kondisi yang tak pasti. Namun bagi circle saya di daerah, saya masuk kategori sukses lantaran bisa bertahan. Tidak tau saja mereka, rokok pun tak jadi di beli.

Selama merantau, saya menemukan banyak makna. Relasi tentu saja paling pertama. Berikutnya ialah makna perjuangan dari kehidupan. Bahwa hidup tak semenarik cerita orang-orang berdasi atau berduit tujuh turunan.  Sebab ada pertaruhan dari setiap keputusan yang diambil.

Makna terbesar yang diperoleh ialah pada pengembangan diri. Bagaimana perbedaan komunikasi timur dan barat, bauran budaya hingga bersikap. 

Bagaimana orang-orang sabar dengan carut marut kemegahan ibu kota. Bagaimana dunia bisnis bermain dan perilaku orang-orang didalamnya.

Kondisi yang kemudian membuka wawasan yang selama ini terjepit karena ruang yang selama ini dipraktekan secara kaku di daerah. Ruang kaku yang kemudian menghardik "ketidakpuasaan pembangunan" atau " kebijakan kesejateraan".

Merantau adalah pilihan dan melarat adalah seni yang membawa seseorang bertindak. Mendorong diri agar tidak diam dan berpangku tangan. (sukur dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun