Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tantangan Membangun Rumah Baca di Desa

4 Januari 2022   21:31 Diperbarui: 5 Januari 2022   05:04 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana progres rumah baca yang kamu dirikan?" Tanyaku pada salah satu kompasianer.

"Sementara masih jalan. Hanya saja kami terkendala dengan lokasi. Selama dua bulan ini kami menggunakan rumah guru, sesekali warga dan rumah para siswa," jawabnya.

"Lah bukannya kemarin kata Pak Kades bakal ada alokasi anggaran dan lahan untuk pembangunan rumah baca?" Ujarku mengingatkan.

"Ya hanya sekedar wacana bang. Ditagih pun katanya nanti dianggarkan. Tapi sampai sekarang janji tinggal janji," ujarnya lagi.

Rumah baca yang didirikannya merupakan buah dari dari diskusi kami bersama beberapa bulan lalu. 

Saya mendorongnya untuk mendirikan rumah baca setelah ia begitu penasaran atas keberhasilan kami mendirikan rumah baca di salah satu kabupaten.

Dasar pendidikannya sebagai seorang guru kemudian mendorongnya melakukan kampanye kepada rekan-rekan mahasiswa. Apalagi kebanyakan dari mereka terkenal kritis. 

Selain itu, dorongan paling kuat ketika ia menyaksikan dalam beberapa tahun belakangan, banyak siswa-siswi yang menghabiskan waktu dengan bermain, begadang hingga larut malam.

Hampir enam bulan lamanya ia melakukan advokasi kepada masyarakat dan mendorong mahasiswa agar ikut berpartisipasi sebagai bagian dari agent of change. Namun tak semudah membalikan telapak tangan. Mahasiswa sebagai pilar justru acuh ketika sampai ke desa. 

Segala kebijakan yang dianggap tak sesuai dikritisi dengan memobilisasi masa melakukan demostrasi atau sekedar melaksanakan mimbar bebas di lokasi keramaian.

Setiba mereka di desa, tak ada satupun persatuan yang diharapkan. Kembali ke desa ibarat rehat dari segala aktivitas itu, padahal banyak problem yang tersaji di depan mata.

"Kamu didengar di negeri orang, tetapi di negeri sendiri diabaikan". Kata ini tepat menggambarkan dirinya dalam melakukan advokasi. 

Segala advokasi yang dilakukannya dipandang sebelah mata bahwa apa yang dilakukan hanya buang-buanh waktu.

Alhasil setelah lama berjuang, ia menemukan kelompok yang tepat dalam mendukung pergerakannya memajukan literasi di desa. 

Para pemuda kampung yang tergabung dalam suatu organisasi paguyuban ikut tertarik. Para pemuda ini merupakan masyarakat desa yang putus sekolah atau memilih hidup di desa dan belum menikah.

Bergerak mereka melakukan advokasi dari rumah ke rumah. Tujuannya meminta izin kepada orang tua untuk mengajak anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bergabung dalam kelompok belajar.

Tak butuh waktu lama, seminggu sudah ada 50 siswa yang bergabung. Dan, kegiatan perdana dilaksanakan di rumah ketua pemuda. 

Sistem pelajaran diajarkan berbagai hal dengan menggandeng para guru muda yang kebanyakan honorer. 

Penyelesaian soal, membaca, menulis, merupakan beberapa kurikulum dari rumah baca sederhana ini. 

Mereka menamakan rumah baca tersebut dengan nama Rumah Baca Sabua Pustaka.

Setelah itu, mahasiswa yang mulai terpanggil melakukan penggalangan buku dan berhasil menyumbangkan satu karton buku yang disimpan di rumah sang kepala pemuda.

Tantangan tidak sampai di situ, salah satu problem-nya ialah menjaga konsistensi dan semangat dari mereka yang terlibat. Hingga berjalan dua bulan, banyak dari mereka yang tidak aktif dan menyisahkan beberapa orang saja.

Selain itu, keterbatasan SDM dalam beberapa kurikulum seperti bahasa Inggris masih menjadi barang langka. 

Para siswa pun juga harus terus diajak. Sekali saja tidak diinformasikan maka mereka bakal abai.

***

Pendidikan merupakan tongkat peradaban. Sebuah klise sempurna untuk memajukan. 

Membangun rumah baca merupakan itikad dan keterpanggilan memajukan literasi di desa yang selama ini masih mengalami ketertinggalan. 

Namun, membangun rumah baca tidak gampang, banyak tantangan yang dihadapi dari kondisi internal maupun eksternal. 

Secara internal, membangun rumah baca tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Kita membutuhkan sinergitas dan ide-ide dengan beberapa orang agar timbul semangat juang.

Selama ini tantangan yang dihadapi ialah kebanyakan memiliki tujuan yang sama tetapi dalam pelaksanaannya banyak yang kemudian mundur. Istilah yang paling tepat ialah, banyak omong tak mau kerja.

Membangun rumah baca dianggap sebagai sesuatu yang sangat berat dilaksanakan lantaran tidak bergerak berdasarkan profit. 

Kemandirian sebagai tongkat awal pendirian rumah baca dianggaap sebagai sesuatu yang mustahil. Kebanyakan bergerak jika ada bantuan dari pemerintah sebagai program kerja.

Alhasil, untuk menemukan satu atau dua orang yang benar-benar punya tujuan yang sama sangatlah sulit.

Tantangan berikutnya membangun rumah baca di desa ialah dukungan dari warga desa, perangkat desa hingga tokoh adat.  Apatis adalah wujud terdepan.

Terkadang kami dalam melakukan sosialisasi sering menjumpai banyak penolakan walau menggandeng mahasiswa dari desa itu sendiri. 

Bagi mereka, anak-anak lebih baik membantu para orang tua di dapur atau kebun ketimbang belajar yang belum tentu dapat menghasiljan.

Tak jarang pula banyak penolakan hadir dari mahasiswa. Mereka menggangap pendirian rumah baca sebagai sebuah kendaraan politis hingga membangun citra diri.

Padahal, pendirian rumah baca di setiap desa dapat mendorong iklim pendidikan dan literasi yang pada akhirnya menciptakan dinamika pendidikan yang berkualitas. 

Oleh karena itu, membangun kesadaran literasi sangat penting dimiliki semua orang agar kemajuan pendidikan khususnya di desa dapat diwujudkan secara bersama. (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun