Setiba mereka di desa, tak ada satupun persatuan yang diharapkan. Kembali ke desa ibarat rehat dari segala aktivitas itu, padahal banyak problem yang tersaji di depan mata.
"Kamu didengar di negeri orang, tetapi di negeri sendiri diabaikan". Kata ini tepat menggambarkan dirinya dalam melakukan advokasi.Â
Segala advokasi yang dilakukannya dipandang sebelah mata bahwa apa yang dilakukan hanya buang-buanh waktu.
Alhasil setelah lama berjuang, ia menemukan kelompok yang tepat dalam mendukung pergerakannya memajukan literasi di desa.Â
Para pemuda kampung yang tergabung dalam suatu organisasi paguyuban ikut tertarik. Para pemuda ini merupakan masyarakat desa yang putus sekolah atau memilih hidup di desa dan belum menikah.
Bergerak mereka melakukan advokasi dari rumah ke rumah. Tujuannya meminta izin kepada orang tua untuk mengajak anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bergabung dalam kelompok belajar.
Tak butuh waktu lama, seminggu sudah ada 50 siswa yang bergabung. Dan, kegiatan perdana dilaksanakan di rumah ketua pemuda.Â
Sistem pelajaran diajarkan berbagai hal dengan menggandeng para guru muda yang kebanyakan honorer.Â
Penyelesaian soal, membaca, menulis, merupakan beberapa kurikulum dari rumah baca sederhana ini.Â
Mereka menamakan rumah baca tersebut dengan nama Rumah Baca Sabua Pustaka.
Setelah itu, mahasiswa yang mulai terpanggil melakukan penggalangan buku dan berhasil menyumbangkan satu karton buku yang disimpan di rumah sang kepala pemuda.