Dua hari ini pun ketika saya jalan-jalan ke bagian utara kota, di sebuah bekas penggalian pasir dan tanah terbesar, anak-anak kecil juga nampak kesusahan.
Mereka bermain sepakbola di atas lapangan berkerikil yang berhimpitan langsung dengan jurang. Walau selalu diawasi oleh orangtua.
Mereka juga bermain di sebuah lahan reklamasi. Lokasi yang digadang-gadang menjadi sentra ekonomi Kota ini disulap menjadi lapangan sepakbola. Walau kontur lapangan berisi kerikil dan bebatuan tak jua menyiratkan semangat bermain sepak bola sepuasanya, sebelum berdiri bangunan pertokoan dan perkantoran penghasil rupiah sebentar lagi .
***
Tercuri pembangunan. Itulah gambaran kondisi di Kota saya, Ternate Maluku Utara. Pulau kecil ini hampir tak mampu bernapas karena sesaknya pembangunan. Ruang bermain yakni lapangan sepak bola sejak 10 tahun terakhir telah hilang.
Saya mengingat betul, betapa beruntungnya saya sejak masa remaja, periode 2000-2012, kami masih bebas bermain sepakbola karena ketersediaan lahan kosong yang begitu banyak.
Belum ada pembanguan semasif sekarang. Rumah-rumah pribadi, perkantoran, dan lainya masih jarang.Â
Sekarang berbeda, rumah-rumah berdesakan di jantung kota. Pertokoan dari lantai reklamasi hingga lahan perkebunan berdiri. Kantor-kantor berlantai tersebar di mana-mana.
Di jantung kota, tak ada ruang gerak. Kadang untuk dinding per rumah harus menjadi satu. Pembangunan begitu masif berjalan. Tanpa sedikit pun menyisakan ruang bermain bagi anak-anak. Lapangan sepak bola hilang tak berbekas.
Sebuah pemandangan antraktif yang tak kasat mata. Berjalan seiring waktu tanpa disadari. Tiba-tiba padat, tiba-tiba hilang.Â
Masifnya pembangunan bertolak belakang dengan keinginan pemerintah menciptakan ruang terbuka hijau dan berbagai konsep lainnya.Â