Selamatlah diri ini, gumamku. Ku sruput lagi kopi yang sedari tadi kubiarkan mendingin. Dua tiga tegukan terasa begitu nikmat sembari menata kembali asupan niat. Walau sesekali terbayang wajah genit tadi begitu menggoda.Â
Belum lagi lamunanku tuntas, seorang perempuan menyapa. Ia tak semanis dan seanggun perempuan pertama tadi. Ia sudah sedikit berumur. Jika kutebak berumur empat puluhan.Â
Tak ada riasan mencolok di wajah, begitu tipis. Rambutnya bergelombang terurai. Gayanya sederhana. Dan, tak genit.Â
"Bagi rokok bang,". Mintanya. Kuberikan sebatang rokok. Lalu kunyalakan.Â
Boleh duduk di sini? pintanya. "boleh silahkan, bukan milik saya juga" Jawabku mempersilahkan.Â
"Sendirian bang,"Â tanyanya mengkarabkan diri.Â
"Iya sendiri"Â jawabku singkat.
Ku lihat ia menarik rokok sangat dalam. Menghembuskan kepulan asap dengan kencang. Semacam ada gunda yang terpenjara dan ingin diutarakan.
"Ada apa mbak," Tanyaku membuka obrolan.
"Ngak. Sepi aja malam ini. Biasanya jam segini sudah bisa dua atau tiga pasien. Langgananpun tak kelihatan," ungkapnya sambil melihat jam yang dikenakannya. Pukul 12.00 Wit malam ini.
"Langganan," Sahutku.